Langsung ke konten utama

Cerbung : KERAK TELOR SPESIAL (Bagian 1)

"Iya Maaaak!" Sobari akhirnya mengangkat ponsel jadul dalam genggamannya yang sudah berdering lebih dari delapan kali.
"Hei, Bari! Lama banget sih angkat telponnya? Ampe capek Emak nungguin," suara di seberang sana langsung mencecar tanpa jeda. "Udah dapet pesenan Emak? Buruan dianter dong, Emak keburu ngantuk nungguinnya nih!"
Sobari cuma bisa pasrah mendengarkan omelan nyaring emak tercintanya via telepon genggam. Kepalanya terus manggut-manggut dengan wajah sedikit ditekuk menahan kesal.
"Pokoknya bawain Emak kerak telor pengkolan itu. Jangan beli tempat laen! Denger nggak lo Bari?"
"Iya Mak, siap laksanakan kemendaaaaan ... " Bari buru-buru menutup telponnya sebelum omelan emaknya makin deras tak terkendali.

***

Sobari segera memarkirkan Vespa bututnya di samping tenda warung kerak telor Bang Jalu yang terkenal seseantero pengkolan RW 03 itu. Suasana hening seketika saat suara berisik mesin motor tua Sobari yang memekakkan telinga itu akhirnya tak lagi terdengar.
"Untung sepi nih warung," gumam Sobari sembari melangkah masuk ke dalam warung tenda warna kuning terang mencolok itu. Lelaki muda usia awal 30-an ini mengambil kursi plastik yang tersedia dan bersiap duduk. Diperhatikannya sekitaran warung itu. Sepi. Tak ada seorang pun di dalamnya.
"Bang Jalu?" Sobari mencoba memanggil nama sang pemilik warung beberapa kali, berharap bang Jalu muncul dan bisa segera membuatkan kerak telor spesial pesanan emaknya.
"Cari siapa bang?"
"Mashaallah! Bangun-bangun makan nasi ama udang galah. Ceilaaah ...!" Sobari sontak terperanjat kaget saat seorang anak kecil usia 9 tahunan tiba-tiba muncul dari kolong meja saji. "Hei, sapa lo?" sahut Sobari keras. "Ngapain lo tong dikolong meja?"
Seraut senyum manis dengan barisan gigi yang rapi muncul di wajah anak itu yang segera menjawab pertanyaan Sobari dengan ramah. "Saya Udin Bang, anak bang Jalu yang paling kecil."
"Oooh ..." Sobari cuma bisa ber-o panjang sambil manggut-manggut. "Bapak lo mana Din? Mau pesen kerak telor nih satu."
Sahutan Sobari langsung dibalas riang oleh Udin, anak lelaki bang Jalu yang bertubuh kurus itu. "Bapak lagi sholat Isya Bang. Oh, Abang mau beli kerak telor ya? Ya sudah, sebentar ya Bang saya buatin," Udin menjawab pertanyaan Sobari dengan cepat. Sigap diambilnya wajan gagang kayu senjata andalan bapaknya yang biasa dipakai saat berjualan kerak telor.
Melihat Udin yang bergerak cepat untuk memasak pesanan kerak telornya, Sobari justru sontak terkejut bukan kepalang. Tanpa sadar ia berteriak panik ke arah Udin. "Hei Din, stop stop! Mau apa lo?"


Bersambung .... J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Dikejar Bayang Kenangan

Suara-suara itu lagi .... Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis yang sedari tadi kutahan. Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.   Plak!!! Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, b

CERPEN : MUMUN ENGGAK PERNAH SALAH

Hari masih pagi. Nggak kayak biasanya, Bang Jali tetumbenan udah bangun. Matanya kelihatan banget masih kriyep-kriyep menahan rasa kantuk yang tersisa. Sesekali mulutnya yang dihiasi kumis melintang menguap lebar disertai suara "huwaaah" yang lumayan keras. "Apaan sih Bang, masih nguap bae!" Tetiba mata Bang Jali langsung melotot. Suara hardikan Mpok Mumun, istri kesayangannya sukses menghilangkan kantuk berat yang ngganjel di matanya. "Eeeh ... si montok udah siap. Neng Mumun jadi mau ke pasar nih?" Bang Jali cepat-cepat memasang muka manis di depan istrinya. "Lah, ya jadi dong Bang. Pan Mumun dah keabisan lipensetip inih. Boros bener sih. Gegara Abang inih," sambil manyunin bibirnya yang tebal nggak beraturan, Mpok Mumun menjawab pertanyaan suaminya itu dengan ketus. Bang Jali senyum-senyum sendiri mendengar ocehan perempuan kesayangannya itu. Imajinasinya langsung melayang ke mana-mana.  "Ayo deh Bang, berangkat!" Sial

Sering Stuck & Nge-blank Saat Menulis Padahal Ide Sedang Deras-derasnya? Lakukan Tips Menulis Efektif Berikut Ini

Dalam proses menulis, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang membuat langkah kita terhenti (stuck) di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan tulisan yang kita sedang kerjakan. Dan ternyata, alasan di balik terjadinya kondisi tersebut sering kali amatlah sepele. Salah satunya, kita merasa kualitas tulisan jadi "berbeda" dengan yang diharapkan. Padahal, sebenarnya ide menulis yg tengah "berkeliaran dan mengalir" di kepala begitu banyaknya, begitu derasnya. Dalam keadaan seperti ini, kita seakan-akan dibebani rasa bersalah karena tidak mampu menghasilkan tulisan seperti yang kita bayangkan, sesuai yang kita harapkan. Dan, kejadian sesudahnya tentu sangat mudah ditebak bukan? Ya, kita jadi malas melanjutkan tulisan tersebut, dan membiarkan ide yang berdatangan tadi akhirnya mengendap, pergi, dan menghilang.  Pernahkah sahabat sekalian berada dalam kondisi ini? Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita menyikapi kondisi ini? Amat disayangkan bukan, bila ide-ide b

CERPEN : CINCIN BERLIAN DARI SYURGA

“Kau harus segera menyampaikan keputusan keluarga ini kepada Arul. Segera, Ranti. Jika ikatan kalian ini tetap ingin dilanjutkan.” Deg! Ucapan Pak Purwo barusan benar-benar mengejutkan Ranti.  Ayahnya belum pernah seperti ini sebelumnya. Pak Purwo adalah seorang lelaki yang demokratis, bijaksana, meski terkenal tegas dan amat menjaga prinsip bila itu berkaitan dengan kebenaran. Namun ketegasannya selama ini selalu disampaikan dengan lembut. Kecuali hari ini. Kata-kata lelaki paruh baya yang masih tampak gagah ini terdengar tajam, menekan, menusuk tepat ke hati. Bagi Ranti, ini menjadi pertanyaan besar di kepalanya. “Kenapa tiba-tiba Ayah mengubah keputusan yang sudah kita sepakati? Tidak bisa seperti ini Ayah ... ” tanya gadis ini dengan nada putus asa. “Ayah mohon Ranti, mintalah pengertian Arul. Ini bukan tentang Ayah yang tidak mau menerima Arul apa adanya. Ayah sangat ikhlas melepasmu menjadi istrinya. Ayah hanya minta sedikit pengertiannya. Dalam masalah ini saja. Ini