Langsung ke konten utama

CERPEN : MUMUN ENGGAK PERNAH SALAH


Hari masih pagi. Nggak kayak biasanya, Bang Jali tetumbenan udah bangun. Matanya kelihatan banget masih kriyep-kriyep menahan rasa kantuk yang tersisa. Sesekali mulutnya yang dihiasi kumis melintang menguap lebar disertai suara "huwaaah" yang lumayan keras.

"Apaan sih Bang, masih nguap bae!"

Tetiba mata Bang Jali langsung melotot. Suara hardikan Mpok Mumun, istri kesayangannya sukses menghilangkan kantuk berat yang ngganjel di matanya.

"Eeeh ... si montok udah siap. Neng Mumun jadi mau ke pasar nih?" Bang Jali cepat-cepat memasang muka manis di depan istrinya.

"Lah, ya jadi dong Bang. Pan Mumun dah keabisan lipensetip inih. Boros bener sih. Gegara Abang inih," sambil manyunin bibirnya yang tebal nggak beraturan, Mpok Mumun menjawab pertanyaan suaminya itu dengan ketus. Bang Jali senyum-senyum sendiri mendengar ocehan perempuan kesayangannya itu. Imajinasinya langsung melayang ke mana-mana. 

"Ayo deh Bang, berangkat!"

Sial. Hayalan tingkat tinggi Bang Jali pun buyar. Hardikan Mpok Mumun sekali lagi sukses mengagetkan lelaki bertubuh gempal ini.

"Siap Neng Botoh sayaaang ... " cepat-cepat Bang Jali berlari ke teras depan dan langsung menstarter motor bututnya. Mesinnya terdengar seperti suara Babah Cang toko sebelah pas lagi batuk-batuk. 

***

"Baaaaang ... Mumun cakepan pake nyang merah apa nyang oren nih?"

Gelagepan, Bang Jali jadi salah tingkah mendapatkan pertanyaan dari istrinya.

"Mati gue. Salah jawab bakalan apes dah nih, alamat diperengutin 3 hari dah," Bang Jali berpikir keras sambil garuk-garuk kepala yang rada gatel. Biarpun terkenal jawara paling galak di Kampung Sengon, tapi Bang Jali selalu bertekuk lutut, menyerah kalah kalo sudah berurusan sama Mpok Mumun. Pameo "perempuan selalu bener" cocok banget disandingkan ke istri nomor wahid dan satu-satunya milik jawara kampung paling disegani ini.

"Abaaaaang!!! Ih, ditanya malah bengong! Mlongo ajah kayak Beo," sungut perempuan berambut keriting itu sambil merengut kesal.

"Nyang mana Baaaang!!!"

"Eh, iyaaa ... iyaaa botoh, bentar yak, Abang liat dulu," sambil menepuk-nepuk sayang pundak istri kesayangannya yang mulai merajuk, Bang Jali langsung mendekat ke etalase toko yang dipenuhi jajaran lipstick aneka warna. Mbak-mbak SPG di depan etalase cuma bisa senyam-senyum sambil tekep mulut melihat "adegan romantis cenderung sadis" di hadapannya.

"Yang merah bagus nggak Bang?"

"Baguuuus ...."

"Tapi yang oren Eneng suka juga Bang."

"Iyaaa ... yang oren juga bagus."

"Iiih Abang!!!" Mpok Mumun tiba-tiba mencubit lengan Bang Jali keras. 

"Wadaaaaw ...! Ngapah Abang dicubit aih Neng? Abang salah apaaah?" sambil meringis menahan sakit, lelaki bertubuh besar itu langsung mengusap-usap lengannya yang memerah. 

"Percuma dah ah Abang nganter Eneng kemari, bukannya ngasih solusi malah bikin bingung!" sungut Mpok Mumun kesal. Adegan bibir manyun pun lagi-lagi berulang. 

"Duh Eneng sayang, Abang bukan mau bikin bingung Neng Botoh, tapi emang bener lipen pilihan Eneng dua-duanya bagus."

"Iya terus, yang paling bagus di bibir Eneng yang mana Bang?"

"Haduuuuh ... makin runyam nih," tampang Bang Jali makin memelas. Ini dia pertanyaan jebakan yang sering didapatnya dari istri tercintanya. Jebakan betmen kalo kata kids zaman now. Mau jawab yang mana aja, keputusan terakhirnya adalah, semua jawaban adalah SALAH. 

"Yang ... merah aje deh Neng," akhirnya Bang Jali memberikan jawabannya, meski dengan suara pelan.

"Yang merah? Jadi kalo yang oren jelek gituh di bibir Eneng?"

Nah loh.

"Bukan gitu Neng, yang oren bagus juga kok."

"Lah terus kenapa Abang pilih yang merah, bukan yang oren?"

Makin parah.

"Eh, oh, anu Neng, ya udah, yang oren aja juga boleh," muka Bang Jali makin pucet.

"Huh, Abang mah plinplan. Bikin bingung!" Bibir Mpok Mumun makin panjang manyunnya. Nambah 2 senti.

"Duh, Neng sayang, maksud Abang, emang dua-duanya bagus kok di bibir Eneng. Ya udah, ambil aja dua-duanya yaa cantik, jadi gak bingung lagi kan?" rayu Bang Jali sambil pasang senyum rada manis.

"Lah, boros amat sih Bang. Mahal pan ini lipennya. Atu ajah abisnya lama. Malah disuruh beli dua-duanya. Dasar laki gak ngarti ngatur duit," sungut Mpok Mumun sambil melotot kesal ke arah suaminya.

Bang Jali makin pasrah. Keringat mulai banjir di jidatnya yang mengkilat. Badannya mengkeret, makin nyender ke pojok dinding toko. Akhirnya dengan sisa-sisa ide yang masih nyantol di kepalanya, lelaki paruh baya ini memberanikan diri memberi saran terakhir ke perempuan kesayangan yang lagi cemberut maksimal di depannya.

"Eneng Mumun, bini Abang paling cantik, terserah Neng Botoh aja deh, mau pilih yang mana. Abang ikut aja pilihan Eneng sayang, yaaa ...."

"Oooh, jadi gitu, sekarang malah bilang terserah. Jadi Abang sebenernya dari tadi gak suka kan sama pilihan Mumun yang entu. Ya udah, mendingan Mumun gak jadi beli ajah, huh!"

Setengah berlari, Mpok Mumun langsung balik kanan dan bergegas keluar toko. Sambil pergi cepat ke arah parkiran, wanita itu menutupi wajahnya dengan sebelah tangannya, seperti sedang menahan tangis.

Bang Jali masih terpaku. Berdiri mematung di depan etalase toko sambil melongo melihat Mpok Mumun yang berjalan cepat meninggalkannya.

"Pak, Ibu sudah keluar tuh Pak," suara teguran Mbak SPG di depannyalah yang akhirnya bisa mengembalikan kesadarannya.

"Oh, eh, iya ... iya Mbak. Maapin bini saya yak," cepat-cepat Bang Jali menyalami tangan si Mbak SPG sambil minta maaf, dan segera bergegas berlari menyusul istrinya keluar toko. Di dalam hatinya, jawara kampung ini cuma bisa berucap lirih, "Tamat idup gue ...."

Komentar

  1. Bagus nih ceritanya. Menghibur. Saya pikir Bang Jali bakal beliin lipen di ending. Kasihan tuh Mumun ga dibeliin lipen.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Dikejar Bayang Kenangan

Suara-suara itu lagi .... Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis yang sedari tadi kutahan. Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.   Plak!!! Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, b

Sering Stuck & Nge-blank Saat Menulis Padahal Ide Sedang Deras-derasnya? Lakukan Tips Menulis Efektif Berikut Ini

Dalam proses menulis, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang membuat langkah kita terhenti (stuck) di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan tulisan yang kita sedang kerjakan. Dan ternyata, alasan di balik terjadinya kondisi tersebut sering kali amatlah sepele. Salah satunya, kita merasa kualitas tulisan jadi "berbeda" dengan yang diharapkan. Padahal, sebenarnya ide menulis yg tengah "berkeliaran dan mengalir" di kepala begitu banyaknya, begitu derasnya. Dalam keadaan seperti ini, kita seakan-akan dibebani rasa bersalah karena tidak mampu menghasilkan tulisan seperti yang kita bayangkan, sesuai yang kita harapkan. Dan, kejadian sesudahnya tentu sangat mudah ditebak bukan? Ya, kita jadi malas melanjutkan tulisan tersebut, dan membiarkan ide yang berdatangan tadi akhirnya mengendap, pergi, dan menghilang.  Pernahkah sahabat sekalian berada dalam kondisi ini? Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita menyikapi kondisi ini? Amat disayangkan bukan, bila ide-ide b

CERPEN : CINCIN BERLIAN DARI SYURGA

“Kau harus segera menyampaikan keputusan keluarga ini kepada Arul. Segera, Ranti. Jika ikatan kalian ini tetap ingin dilanjutkan.” Deg! Ucapan Pak Purwo barusan benar-benar mengejutkan Ranti.  Ayahnya belum pernah seperti ini sebelumnya. Pak Purwo adalah seorang lelaki yang demokratis, bijaksana, meski terkenal tegas dan amat menjaga prinsip bila itu berkaitan dengan kebenaran. Namun ketegasannya selama ini selalu disampaikan dengan lembut. Kecuali hari ini. Kata-kata lelaki paruh baya yang masih tampak gagah ini terdengar tajam, menekan, menusuk tepat ke hati. Bagi Ranti, ini menjadi pertanyaan besar di kepalanya. “Kenapa tiba-tiba Ayah mengubah keputusan yang sudah kita sepakati? Tidak bisa seperti ini Ayah ... ” tanya gadis ini dengan nada putus asa. “Ayah mohon Ranti, mintalah pengertian Arul. Ini bukan tentang Ayah yang tidak mau menerima Arul apa adanya. Ayah sangat ikhlas melepasmu menjadi istrinya. Ayah hanya minta sedikit pengertiannya. Dalam masalah ini saja. Ini