"Stop stop stop, setooooppp!" Sobari sontak berteriak
kencang, hingga mengagetkan Udin. Wajan di tangan anak bungsu Bang Jalu itu
sampai terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai dengan suara gaduh.
"Iya Bang, ada apa yak?" Meski sempat kaget luar
biasa akibat teriakan Sobari, Udin tetap berusaha menjawab dengan sopan.
Sembari tangannya membereskan kembali wajan yang terjatuh tadi.
"Eh, ente yang mau bikin kerak telor pesenan gue
Din?" tanya Sobari penuh selidik. Nada suaranya terdengar sedikit
khawatir.
Tapi tampaknya Udin tak memperhatikan perubahan air muka
Sobari. Anak ini dengan riang tetap mempersiapkan segala kebutuhan kerak telor
yang akan diolahnya. "Iya Bang, tunggu bentar yak, cepet kok
matengnya," dengan lugu Udin menjawab pertanyaan Sobari sambil tetap
melanjutkan pekerjaannya. Dinyalakannya kompor dan diletakkannya wajan gagang
kayu itu di atasnya.
Sobari terlihat makin resah. Wajahnya tampak bingung
sekaligus kesal. "Eh Din, ntar aja dah, tunggu bapak lu dateng ... "
"Abis Isya, Bapak langsung pergi kendurian Bang, lama
ntar nunggunya," jawab Udin sambil nyengir lebar. "Udah tenang aja
Bang, biar Udin bikinin pesenan Abang yaa ... "
Dengan terampil jemari bocah ini memecahkan telur di atas
wajan yang mulai panas dan menambahkan beberapa sendok beras ketan aron ke
dalamnya. Tak lama kemudian tangan kecil itu tampak lincah mencampur, mengaduk
serta menambahkan bahan-bahan masakan yang sedang diolahnya.
Dan Sobari cuma bisa melongo takjub menyaksikan apa yang
sedang dipertontonkan Udin di hadapannya. "Eh, eh ... hebat juga tu
bocah," gumamnya pelan. Namun begitu, rasa tak yakin akan kemampuan anak
kecil berusia 9 tahun ini dalam mengolah kerak telor masih terselip di hati
Sobari. Raut mukanya masih menunjukkan kesan meremehkan.
Bahkan saat wangi sedap dan gurih dari serundeng kelapa
yang berpadu dengan olahan kerak telor di atas wajan akhirnya mulai menyeruak,
Sobari masih tetap berusaha meyakinkan dirinya bahwa keharuman penganan khas
betawi itu belum tentu menunjukkan kelezatan rasanya. Apalagi dimasak oleh
bocah ingusan macam si Udin. Kepala Sobari manggut-manggut sembari memikirkan
segala kemungkinan terburuk.
"Ini Bang pesanannya," Udin mencolek pelan
lengan Sobari yang masih terbengong-bengong sembari berkutat dengan pikirannya.
Pria ini terperanjat. "Eh! Udahan Din?"
"Udah Bang, alhamdulillah. Ini Bang," sahut Udin
ceria sambil menyerahkan bungkusan kerak telor ke tangan Sobari. Ragu-ragu
Sobari menerima bungkusan tersebut. Udin serta merta tertawa kecil.
"Udah Bang, bawa aja. Gak usah bayar dulu. Abang
cicip aja dulu di rumah. Kalo enak, baru kapan-kapan nanti Abang bayar. Kalo
gak enak, maafin Udin yaa Bang." Sobari terkesiap. Malu rasanya, bocah
lelaki ini ternyata bisa membaca pikirannya.
"Eh, iya, iya Din. Abang balik dulu yak."
"Iya, ati-ati yaa Bang."
Dengan pipi memerah menahan malu, Sobari cepat-cepat pergi
meninggalkan warung Bang Jalu. Sebenarnya hatinya merasa bersalah karena dengan
egois membawa pulang pesanan kerak telor ini tanpa membayar. Tapi, ditepisnya
pikiran ini jauh-jauh. "Si Udin yang salah, mosok dagangan Bapaknya dibakal
mainan kayak gitu. Nama baek Bang Jalu pan yang dipertaruhkan. Untung gue yang
beli ... " gumam Sobari berusaha membela diri.
Dan tanpa terasa, Vespa tua bak motor peninggalan penjajah
di tahun 45 itu pun telah sukses mengantar Sobari sampai di rumah.
Bersambung lagi yaa .... J
Komentar
Posting Komentar