Langsung ke konten utama

Cerbung : KERAK TELOR SPESIAL (Bag. 2)

"Stop stop stop, setooooppp!" Sobari sontak berteriak kencang, hingga mengagetkan Udin. Wajan di tangan anak bungsu Bang Jalu itu sampai terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai dengan suara gaduh.
"Iya Bang, ada apa yak?" Meski sempat kaget luar biasa akibat teriakan Sobari, Udin tetap berusaha menjawab dengan sopan. Sembari tangannya membereskan kembali wajan yang terjatuh tadi.
"Eh, ente yang mau bikin kerak telor pesenan gue Din?" tanya Sobari penuh selidik. Nada suaranya terdengar sedikit khawatir.
Tapi tampaknya Udin tak memperhatikan perubahan air muka Sobari. Anak ini dengan riang tetap mempersiapkan segala kebutuhan kerak telor yang akan diolahnya. "Iya Bang, tunggu bentar yak, cepet kok matengnya," dengan lugu Udin menjawab pertanyaan Sobari sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. Dinyalakannya kompor dan diletakkannya wajan gagang kayu itu di atasnya.
Sobari terlihat makin resah. Wajahnya tampak bingung sekaligus kesal. "Eh Din, ntar aja dah, tunggu bapak lu dateng ... "
"Abis Isya, Bapak langsung pergi kendurian Bang, lama ntar nunggunya," jawab Udin sambil nyengir lebar. "Udah tenang aja Bang, biar Udin bikinin pesenan Abang yaa ... "
Dengan terampil jemari bocah ini memecahkan telur di atas wajan yang mulai panas dan menambahkan beberapa sendok beras ketan aron ke dalamnya. Tak lama kemudian tangan kecil itu tampak lincah mencampur, mengaduk serta menambahkan bahan-bahan masakan yang sedang diolahnya.
Dan Sobari cuma bisa melongo takjub menyaksikan apa yang sedang dipertontonkan Udin di hadapannya. "Eh, eh ... hebat juga tu bocah," gumamnya pelan. Namun begitu, rasa tak yakin akan kemampuan anak kecil berusia 9 tahun ini dalam mengolah kerak telor masih terselip di hati Sobari. Raut mukanya masih menunjukkan kesan meremehkan.
Bahkan saat wangi sedap dan gurih dari serundeng kelapa yang berpadu dengan olahan kerak telor di atas wajan akhirnya mulai menyeruak, Sobari masih tetap berusaha meyakinkan dirinya bahwa keharuman penganan khas betawi itu belum tentu menunjukkan kelezatan rasanya. Apalagi dimasak oleh bocah ingusan macam si Udin. Kepala Sobari manggut-manggut sembari memikirkan segala kemungkinan terburuk.
"Ini Bang pesanannya," Udin mencolek pelan lengan Sobari yang masih terbengong-bengong sembari berkutat dengan pikirannya. Pria ini terperanjat. "Eh! Udahan Din?"
"Udah Bang, alhamdulillah. Ini Bang," sahut Udin ceria sambil menyerahkan bungkusan kerak telor ke tangan Sobari. Ragu-ragu Sobari menerima bungkusan tersebut. Udin serta merta tertawa kecil.
"Udah Bang, bawa aja. Gak usah bayar dulu. Abang cicip aja dulu di rumah. Kalo enak, baru kapan-kapan nanti Abang bayar. Kalo gak enak, maafin Udin yaa Bang." Sobari terkesiap. Malu rasanya, bocah lelaki ini ternyata bisa membaca pikirannya.
"Eh, iya, iya Din. Abang balik dulu yak."
"Iya, ati-ati yaa Bang."
Dengan pipi memerah menahan malu, Sobari cepat-cepat pergi meninggalkan warung Bang Jalu. Sebenarnya hatinya merasa bersalah karena dengan egois membawa pulang pesanan kerak telor ini tanpa membayar. Tapi, ditepisnya pikiran ini jauh-jauh. "Si Udin yang salah, mosok dagangan Bapaknya dibakal mainan kayak gitu. Nama baek Bang Jalu pan yang dipertaruhkan. Untung gue yang beli ... " gumam Sobari berusaha membela diri.
Dan tanpa terasa, Vespa tua bak motor peninggalan penjajah di tahun 45 itu pun telah sukses mengantar Sobari sampai di rumah.



Bersambung lagi yaa .... J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Dikejar Bayang Kenangan

Suara-suara itu lagi .... Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis yang sedari tadi kutahan. Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.   Plak!!! Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, b

CERPEN : MUMUN ENGGAK PERNAH SALAH

Hari masih pagi. Nggak kayak biasanya, Bang Jali tetumbenan udah bangun. Matanya kelihatan banget masih kriyep-kriyep menahan rasa kantuk yang tersisa. Sesekali mulutnya yang dihiasi kumis melintang menguap lebar disertai suara "huwaaah" yang lumayan keras. "Apaan sih Bang, masih nguap bae!" Tetiba mata Bang Jali langsung melotot. Suara hardikan Mpok Mumun, istri kesayangannya sukses menghilangkan kantuk berat yang ngganjel di matanya. "Eeeh ... si montok udah siap. Neng Mumun jadi mau ke pasar nih?" Bang Jali cepat-cepat memasang muka manis di depan istrinya. "Lah, ya jadi dong Bang. Pan Mumun dah keabisan lipensetip inih. Boros bener sih. Gegara Abang inih," sambil manyunin bibirnya yang tebal nggak beraturan, Mpok Mumun menjawab pertanyaan suaminya itu dengan ketus. Bang Jali senyum-senyum sendiri mendengar ocehan perempuan kesayangannya itu. Imajinasinya langsung melayang ke mana-mana.  "Ayo deh Bang, berangkat!" Sial

Sering Stuck & Nge-blank Saat Menulis Padahal Ide Sedang Deras-derasnya? Lakukan Tips Menulis Efektif Berikut Ini

Dalam proses menulis, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang membuat langkah kita terhenti (stuck) di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan tulisan yang kita sedang kerjakan. Dan ternyata, alasan di balik terjadinya kondisi tersebut sering kali amatlah sepele. Salah satunya, kita merasa kualitas tulisan jadi "berbeda" dengan yang diharapkan. Padahal, sebenarnya ide menulis yg tengah "berkeliaran dan mengalir" di kepala begitu banyaknya, begitu derasnya. Dalam keadaan seperti ini, kita seakan-akan dibebani rasa bersalah karena tidak mampu menghasilkan tulisan seperti yang kita bayangkan, sesuai yang kita harapkan. Dan, kejadian sesudahnya tentu sangat mudah ditebak bukan? Ya, kita jadi malas melanjutkan tulisan tersebut, dan membiarkan ide yang berdatangan tadi akhirnya mengendap, pergi, dan menghilang.  Pernahkah sahabat sekalian berada dalam kondisi ini? Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita menyikapi kondisi ini? Amat disayangkan bukan, bila ide-ide b

CERPEN : CINCIN BERLIAN DARI SYURGA

“Kau harus segera menyampaikan keputusan keluarga ini kepada Arul. Segera, Ranti. Jika ikatan kalian ini tetap ingin dilanjutkan.” Deg! Ucapan Pak Purwo barusan benar-benar mengejutkan Ranti.  Ayahnya belum pernah seperti ini sebelumnya. Pak Purwo adalah seorang lelaki yang demokratis, bijaksana, meski terkenal tegas dan amat menjaga prinsip bila itu berkaitan dengan kebenaran. Namun ketegasannya selama ini selalu disampaikan dengan lembut. Kecuali hari ini. Kata-kata lelaki paruh baya yang masih tampak gagah ini terdengar tajam, menekan, menusuk tepat ke hati. Bagi Ranti, ini menjadi pertanyaan besar di kepalanya. “Kenapa tiba-tiba Ayah mengubah keputusan yang sudah kita sepakati? Tidak bisa seperti ini Ayah ... ” tanya gadis ini dengan nada putus asa. “Ayah mohon Ranti, mintalah pengertian Arul. Ini bukan tentang Ayah yang tidak mau menerima Arul apa adanya. Ayah sangat ikhlas melepasmu menjadi istrinya. Ayah hanya minta sedikit pengertiannya. Dalam masalah ini saja. Ini