Suara-suara itu lagi ....
Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di
gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai
terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang
kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis
yang sedari tadi kutahan.
Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.
Plak!!!
Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, berusaha mengintip apa yang kini tengah terjadi di ruang tengah rumah kami itu. Kulihat ayah memegangi pipinya yang memerah. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap ibu penuh amarah. Dan tanpa sadar tubuhku kembali bergetar, gemetar. Keringat dingin membasahi tubuhku yang dilanda ketakutan.
Ibu hanya diam mematung. Wajahnya pucat dihiasi tangis tertahan. Namun tatapan matanya tampak puas setelah berhasil melepas rasa kesal lewat tamparan di pipi ayah tadi. "Dasar kurang ajar! Beraninya kau, istri tak tahu diuntung!" Ayah berteriak keras. Mata lelaki paruh baya yang sangat kucintai ini memerah, nanar dan garang menatap Ibu. Emosinya benar-benar terbakar. Tamparan tadi betul-betul membuat Ayah kalap.
"Kau yang tak tahu diuntung Mas!" tak kalah sengit Ibu membalas umpatan Ayah. "Setelah semua yang aku lakukan untukmu, inikah balasannya? Apapun alasanmu, aku tak mau dimadu. Tak akan pernah mau! Memang benar-benar setan kau mas, kalian berdua setaaaaan!" Ibu kembali menjerit dan mengumpat keras melepaskan rasa sakit yang menggumpal di dadanya. Wanita terkasih ini berusaha melepaskan beban atas rasa kecewa mendalam akibat ketidaksetiaan Ayah padanya.
Mendengar teriakan dan makian Ibu, kemarahan Ayah makin
memuncak. Emosinya tak terbendung lagi. Tanpa dapat kucegah, kulihat tangan
Ayah menyambar cepat vas bunga kaca di atas meja tamu. Dan tanpa aku sempat
menyadarinya, Ayah telah melayangkan vas itu dengan keras ke arah kepala Ibu.
"Ayah, tidak! Jangan ..!!!" jeritanku tertahan di tenggorokan. Hatiku berteriak nyaring, namun lidahku tercekat kelu.
Praaang!!!
"Aaah ...!" Tubuh Ibu limbung. Kulihat darah segar mengaliri wajahnya yang pias. Dan dalam hitungan detik tubuh wanita yang telah melahirkanku ini jatuh, tergeletak tak bergerak di lantai, di antara serpihan pecahan vas bunga yang bertebaran di mana-mana.
"Ibuuuuuu ...!" Akhirnya aku tak dapat lagi menahan
diri. Rasa takutku hilang lenyap, berganti kekhawatiran dan kecemasan yang
teramat sangat akan kondisi Ibu. Di sela jerit tangis yang tak dapat lagi
kubendung, aku segera berlari mendekati tubuhnya yang terbaring diam tak
bergeming. Dalam dekapanku, tubuh Ibu terkulai tanpa daya. Wanita yang amat
kucintai ini hanya diam membisu. Matanya terpejam rapat, tubuhnya lemas tak
bergerak. Aku terus berusaha mengguncang-guncang tubuhnya, memanggil-manggil
namanya, berharap Ibu segera membuka mata dan merespon panggilanku. "Ibuu ... Ibuuuuu
...!!!"
....
"Bu ..."
Aku terperanjat kaget. Sebuah tepukan lembut di pundakku
segera membuyarkan lamunan juga bayangan penuh kegetiran yang tengah bermain di
otak dan menguasai kesadaranku.
"Ibu, kenapa Ibu menangis? Apa Ibu sakit?" Pertanyaan penuh nada khawatir itu berhasil melemparku kembali ke dunia nyata. Dengan segera kuhapus air mata yang menggenang dan meleleh di pipiku dalam sekali usap dengan ujung lengan baju. Dan langsung kusunggingkan senyum paling manis kepada gadis berparas ayu di hadapanku ini.
"eh, nggak ada apa-apa Galuh sayang. Ibu enggak nangis kok. Mata Ibu kena debu dari luar nih. Anginnya kencang sekali ya sore ini," sambil menjawab pertanyaan putri tunggalku ini, kuberusaha mengalihkan perhatiannya dengan beranjak berdiri menutup jendela.
Kemudian ku kembali mendekati gadis manis di sebelahku ini, dan segera mendekap erat tubuhnya penuh cinta. Rasa nyaman segera memenuhi rongga dadaku, meresap dalam ke dasar jiwa yang pernah ternoda oleh kepedihan dan kegetiran yang mendalam. Bahkan noda itu masih terus membekas, hingga kini.
"Ibu, kenapa Ibu menangis? Apa Ibu sakit?" Pertanyaan penuh nada khawatir itu berhasil melemparku kembali ke dunia nyata. Dengan segera kuhapus air mata yang menggenang dan meleleh di pipiku dalam sekali usap dengan ujung lengan baju. Dan langsung kusunggingkan senyum paling manis kepada gadis berparas ayu di hadapanku ini.
"eh, nggak ada apa-apa Galuh sayang. Ibu enggak nangis kok. Mata Ibu kena debu dari luar nih. Anginnya kencang sekali ya sore ini," sambil menjawab pertanyaan putri tunggalku ini, kuberusaha mengalihkan perhatiannya dengan beranjak berdiri menutup jendela.
Kemudian ku kembali mendekati gadis manis di sebelahku ini, dan segera mendekap erat tubuhnya penuh cinta. Rasa nyaman segera memenuhi rongga dadaku, meresap dalam ke dasar jiwa yang pernah ternoda oleh kepedihan dan kegetiran yang mendalam. Bahkan noda itu masih terus membekas, hingga kini.
"Betul Ibu enggak apa-apa? Jangan sedih ya Bu, Galuh sayang Ibu ... " dekapan hangat penuh kasih serta rasa cinta yang tulus dari putri kesayanganku ini benar-benar mampu mengobati luka dan lara akibat kenangan yang ditinggalkan oleh peristiwa terpahit dalam sejarah kehidupanku 20 tahun yang lalu. Peristiwa kelam yang telah merenggut nyawa Ibu, wanita terkasih yang harus meregang nyawa di depan mataku akibat luapan kemarahan Ayah yang tak terkendali. Juga kenangan pahit setelahnya saat aku harus menjalani hidupku sebatangkara di panti asuhan karena Ayah, orang tua satu-satunya yang masih kumiliki harus meringkuk bertahun-tahun di balik jeruji besi penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Tidak, Galuh tak boleh mengalami trauma mendalam yang sama, yang hingga kini masih saja kurasakan, bahkan masih terus membayangi mimpi-mimpi malamku. Apapun yang terjadi antara aku dan suamiku, Galuh tak kan pernah kukorbankan kebahagiaannya.
Ya, peristiwa traumatik yang kualami 20 tahun lalu telah sangat memberiku pelajaran hidup yang berharga. Bahwa anak, adalah harta yang tak ternilai harganya. Bahwa apapun kondisi yang terjadi dalam hubungan suami istri, selayaknya keduanya bijak dalam mengambil langkah pemecahannya, agar sang buah hati tidak menjadi tumbal atas kondisi yang terjadi.
"Galuh, sudah malam. Tidur yaa sayang, besok kan kamu sekolah pagi ..." sambil mengusap lembut kepalanya, kukecup kening Galuh yang tak lepas menyungging senyum dibibirnya.
"Siap Ibuku sayaaang ..." gadis kesayanganku ini membalas mengecup pipiku lembut penuh kasih. Sebelum beranjak ke kamarnya, diciumnya punggung tanganku penuh hormat. Kubalas jabat tangan penuh penghormatan itu dengan tawa sumringah. Dan dengan ekor mataku, kuikuti gerak tubuh Galuh hingga akhirnya bayangnya menghilang di balik pintu kamar.
Kini, kembali ku didera sepi. Setelah yakin Galuh tak akan lagi keluar kamar, pelan-pelan kukeluarkan ponsel hitam keluaran terkini yang sedari tadi kusimpan rapat-rapat dalam saku celana panjangku. Ini ponsel Mas Purnomo, suamiku. Dia tak sengaja meninggalkannya di meja tamu pagi tadi. Perlahan kubaca lagi pesan singkat yang muncul di layar notifikasi.
Mas, aku kangen. Nanti malam ke rumah Siska
kan? Siska tunggu ya mas.
Meski terasa getir, kucoba ulaskan senyum di bibirku penuh keikhlasan. Tak lupa kubisikkan dengan lirih untaian kata suci bentuk penghambaan dan kepasrahanku padaNya, Sang Maha Tahu, yang Maha Menbolak-balik hati. Segera saja kesyahduan melingkupi kalbuku. Dan selanjutnya, aku tahu, apa yang harus aku lakukan.
***
Komentar
Posting Komentar