Langsung ke konten utama

CERPEN : CINCIN BERLIAN DARI SYURGA

“Kau harus segera menyampaikan keputusan keluarga ini kepada Arul. Segera, Ranti. Jika ikatan kalian ini tetap ingin dilanjutkan.”
Deg!
Ucapan Pak Purwo barusan benar-benar mengejutkan Ranti.  Ayahnya belum pernah seperti ini sebelumnya. Pak Purwo adalah seorang lelaki yang demokratis, bijaksana, meski terkenal tegas dan amat menjaga prinsip bila itu berkaitan dengan kebenaran. Namun ketegasannya selama ini selalu disampaikan dengan lembut. Kecuali hari ini. Kata-kata lelaki paruh baya yang masih tampak gagah ini terdengar tajam, menekan, menusuk tepat ke hati. Bagi Ranti, ini menjadi pertanyaan besar di kepalanya.
“Kenapa tiba-tiba Ayah mengubah keputusan yang sudah kita sepakati? Tidak bisa seperti ini Ayah ... ” tanya gadis ini dengan nada putus asa.
“Ayah mohon Ranti, mintalah pengertian Arul. Ini bukan tentang Ayah yang tidak mau menerima Arul apa adanya. Ayah sangat ikhlas melepasmu menjadi istrinya. Ayah hanya minta sedikit pengertiannya. Dalam masalah ini saja. Ini tentang nama baik keluarga kita Nak.”
“Tapi Ayah ... “ Ranti tak dapat melanjutkan kata-katanya. Bola mata gadis manis berwajah oval ini dirasakannya mulai berkabut. Rasa kecewa yang tiba-tiba hadir memicu emosi hatinya, mengundang air mata kesedihan yang terus berusaha dilawannya agar tak jatuh. “Tidak, aku bukan anak kecil lagi. Aku tak boleh menangis di hadapan Ayah,” ujar Ranti dalam hati, sambil berupaya menguatkan batinnya. Akhirnya ditetapkanlah tekad untuk kemudian menjawab keinginan Pak Purwo, lelaki terkasih yang amat dihormatinya itu. “Baik Ayah, saya akan sampaikan ini kepada Kak Arul. Semoga keluarganya mau mengerti.”
***
Arul dan Ranti, adalah sepasang kekasih yang tengah merencanakan untuk melanjutkan hubungan mereka ke tingkat yang lebih serius. Keduanya sepakat untuk mengikat hati ke dalam tali suci pernikahan. Pihak keluarga kedua belah pihak pun telah menyetujui rencana baik ini.
Bagi Ranti, Arul adalah sosok pemuda ideal yang diyakininya pantas menjadi pendamping hidupnya. Seorang anak rantau yang berpola hidup sederhana, namun tangguh dalam menjalani hidup yang berat di perantauan. Dan sebagai orang tua yang bijaksana, Pak Purwo tahu bahwa Arul adalah lelaki yang bisa diandalkan untuk bisa mendampingi kehidupan masa depan Ranti, putri terkasihnya. Bahkan meskipun Pak Purwo juga tahu bahwa calon menantunya datang dari latar belakang keluarga yang berbeda dengan putrinya, lelaki berwajah teduh ini tetap menerima keadaan calon menantunya ini apa adanya. Arul, adalah putra sulung dari petani sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bernama Andaleh, wilayah pedalaman yang terletak jauh di seberang sana, di balik jajaran Bukit Barisan di bagian Barat Pulau Sumatera. Tentunya sangat berbeda dengan pola kehidupan modern yang diterapkan oleh keluarganya yang nota bene adalah penduduk kota metropolitan, Jakarta. Bagi pria yang masih tampak gagah di usianya yang telah mendekati masa pensiun ini, kemandirian Arul diharapkan akan dapat mengimbangi sifat manja dan kekanakan Ranti, putri tunggalnya yang selama ini terbiasa hidup dalam kemudahan.
Hari dan tanggal akad nikah akhirnya ditetapkan. Undangan pun telah siap untuk disebarluaskan kepada handai taulan dan para sahabat. Hari-hari bahagia telah siap disongsong oleh kedua calon pengantin. Rasanya tak mungkin lagi ada kendala yang bisa mengganggu kelancaran rencana baik ini. Hingga hari itu ....
Di hari itu, dua pekan menjelang hari bahagia yang dinantikan, rombongan keluarga besar dari pihak keluarga Ranti pun sudah mulai berdatangan untuk membantu persiapan acara akad nikah dan resepsi sederhana yang akan diselenggarakan di rumahnya. Termasuk salah satunya, adalah kedatangan Bude Wahyuni, kakak tertua dari Pak Purwo, ayahnya. Bude Wahyuni adalah orang yang paling dituakan di keluarga Pak Purwo, sehingga segala perkataan serta maklumatnya sangat dihormati bahkan sering kali menjadi panutan bagi adik-adik dan keluarganya.
Malam itu, Ranti mendengar ayah dan budenya berbicara, atau lebih tepatnya berdebat tentang suatu hal di dalam ruang keluarga. Dan meski tidak diajak turut serta, gadis itu mendengar semua hal yang jadi bahan pembicaraan keduanya. Ya, itu tentang Arul. Dari balik pintu kamarnya, Ranti bisa mendengar dengan jelas, betapa budenya membandingkan tentang kesiapan pernikahan besar-besaran yang pernah dibuatnya untuk putranya, yang tentunya sangat jauh, teramat jauh lebih mewah daripada acara resepsi pernikahan Ranti nanti. Bude Wahyuni menyesalkan tentang persetujuan yang ayah Ranti buat atas acara pernikahan ini, di mana Arul dan keluarganya hanya turut membantu biaya ala kadarnya dalam resepsi yang memang diselenggarakan oleh pihak keluarga Pak Purwo. Meski Pak Purwo berupaya menjelaskan bahwa dirinya dan Ranti bisa menerima kondisi keluarga Arul, dan memaklumi segala kekurangan pihak calon mempelai pria secara materi, namun bude sepertinya tetap tak mau disanggah. Bahkan alasan sang ayah yang menyukai calon menantunya karena kesungguhan dan kemandiriannya, juga karena sifat-sifat baik yang dimilikinya, wanita tua yang selalu tampil anggun dengan pakaian kebaya dan rambut tergelung rapi itu tetap teguh pada pendiriannya. Ia merasa bahwa pihak keluarga Ranti terlalu menyerah pada keinginan dan permintaan pihak pengantin lelaki, sehingga mereka tidak mau berjuang untuk menunjukkan kesungguhan dalam meminta Ranti sebagai menantunya. “Mereka terlalu enak, bisa dapat Ranti dengan mudah,” begitu Bude Wahyuni berpendapat.
Dan masalah menjadi makin rumit ketika Bude Wahyuni akhirnya tahu, bahwa mahar yang diberikan oleh Arul untuk Ranti hanyalah berupa seperangkat alat sholat saja.
“Apa? Hanya mukena? Ya ampun Purwo, kebangetan banget sih menantumu itu! Mau ditaruh mana muka keluarga kita Purwo?”
Respon Bude Wahyuni yang keras terhadap mahar yang akan diberikan Arul, membuat ayah Ranti tak dapat lagi berkomentar apa-apa. Lelaki paruh baya itu hanya bisa menunduk dalam di hadapan kakak perempuannya, terdiam tanpa kata.
Dari balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka, Ranti bisa melihat semua yang terjadi. Ayahnya, ia yakin tak mau membuat masalah dengan harus melawan kata-kata kakak tertua yang amat dihormatinya itu. Lebih dari semenit kebisuan melingkupi ruang keluarga Pak Purwo yang luas dan nyaman itu. Namun sejurus kemudian, terdengar suara tegas dari Bude Wahyuni hingga memecah keheningan yang telah tercipta beberapa detik sebelumnya.
 “Cincin emas, Purwo. Itu yang harus disiapkannya untuk Ranti. Sebentuk cincin emas, 24 karat, terserah berapa gram yang mampu disiapkannya. Menurutku itu bukan barang mewah yang tak terbeli. Siapkan cincin itu sebagai mahar untuk Ranti, atau batalkan rencana pernikahan ini!” ucapan bernada tegas dari mulut wanita tua ini seketika membuat ayah Ranti kaget bukan kepalang.
“Mbak Yu, mohon pengertiannya. Semua sudah sejauh ini. Tak mungkin dibatalkan. Tolonglah Mbak Yu ....”
“Tidak Purwo. Turuti kata-kataku, atau aku akan pulang ke Semarang hari ini juga.”
“Tapi Mbak Yu ... “
“Tidak ada tapi Purwo. Jalankan ini demi nama baik keluarga kita, atau aku tak akan memberikan restuku.”
Bersandar di dinding kamarnya yang dingin, Ranti sudah tak dapat lagi menahan tangisnya. Semua hal yang didengarnya tadi benar-benar menyesakkan dada. Dengan perasaan hancur gadis berlesung pipit ini hanya dapat melepas isak yang menyertai kepedihan hatinya. Di dalam kamar pribadinya itu, ditumpahkannya segenap kegundahan yang dirasakannya. Rasa kecewa dan kesedihan yang menyayat akibat perdebatan antara dua orang yang amat dikasihinya, yaitu Bude Wahyuni dan ayahnya. Juga kepedihan yang dirasakannya terhadap Arul, kekasih hatinya. Ranti tahu, bagaimana kondisi Arul, juga prinsip yang dipegangnya. Sudah terbayang di dalam pikirannya, hal-hal buruk yang akan terjadi jika lelaki terkasihnya ini menolak permintaan bude dan ayahnya tentang penambahan materi mahar yang telah disepakati sebelumnya. Dan hingga jauh larut malam, kegundahan yang dirasakan gadis manis ini tak jua berujung jawaban yang menenangkan dirinya.
***
Akhirnya, Ranti memberanikan diri menyampaikan pesan ayahnya kepada Arul, kekasih hatinya. Beberapa pesan penting yang dititipkan Pak Purwo untuk disampaikan secara pribadi kepada Arul, memberi sedikit rasa tenang di hati Ranti. “Semoga Kak Arul bisa menerima dan memenuhi permintaan Ayah ini,” bisik Ranti di dalam hatinya dengan penuh harap.
Namun ternyata, respon yang diterima Ranti benar-benar membuat gadis manis ini kehabisan kata. Arul tampak kecewa mendengar permintaan calon mertuanya itu.
“Ranti, kenapa baru sekarang Ayah mempermasalahkan tentang mahar yang sudah kita sepakati? Kenapa hal seserius ini bisa berubah dalam waktu sekejap, hanya karena ucapan orang lain?”
“Kak, mohon dengar dulu penjelasanku ...” dalam tangis yang tertahan di tenggorokan, Ranti terus mencoba menjelaskan kondisi pelik yang dihadapinya dan juga ayahnya.
“Ayah terpaksa melakukan ini, menuruti perintah kakak tertuanya. Beliau orang yang amat dihormati di lingkungan kami Kak. Dan, tenang saja Kak. Ayah sudah memberi jalan keluar bagi masalah kita ini. Beliau akan menanggung biaya pembelian perhiasan yang akan menjadi maharku. Tidak akan ada seorangpun yang tahu. Termasuk Bude. Ini hanya di antara kita berdua dan ayah saja Kak.”
Ranti berupaya sekuat tenaga agar Arul dapat menerima keputusan ayahnya. Menurutnya langkah Pak Purwo dalam menalangi biaya pembelian perhiasan yang disyaratkan Bude Wahyuni adalah sebuah jalan keluar yang tepat. Namun respon Arul yang tak sesuai harapan gadis manis ini kembali membuatnya terhenyak.
“Ranti, aku dapat memahami keputusan Ayah. Juga jalan keluar yang ditawarkannya. Tapi, aku tetap tidak bisa menerima keputusan sepihak ini. Maafkan aku Ranti.”
“Kakak ... “ terbata-bata Ranti menjawab tanggapan yang diterimanya dari lelaki terkasih itu. Kini air mata kepedihan tak lagi dapat dibendungnya. Rinainya tumpah ruah membanjiri pipinya yang mulus kemerahan, disertai isak yang tak lagi mampu ditahannya.
“Tapi, kenapa Kak? Jika Kakak menolak hal ini, bagaimana dengan kelanjutan rencana kita? Apa kakak jadi tidak mencintaiku lagi hanya karena ujian kecil ini?”
Melihat kekasih hatinya yang begitu nelangsa, ketegasan Arul pun luluh. Ditatapnya mata Ranti dalam-dalam. Sambil duduk di sisi Ranti, dihapusnya air mata yang terus mengalir dari pipi gadis terkasihnya itu dengan jemarinya. Dan dengan suara lembut, pemuda gagah itu mencoba menjelaskan maksud kata-katanya tadi.
“Jangan khawatir Adik sayang. Aku akan tetap mencintaimu, apapun yang terjadi. Aku yakin, Allah merestui langkah yang akan kita ambil ini. Aku hanya tidak bisa menerima keputusan sepihak Bude dan ayah. Masih ingat kata-katamu tadi Dik, bagaimana kita bisa melewati ujian kecil di awal perjalanan ini? Benar katamu Ranti. Ini baru ujian kecil. Dan justru aku yang harusnya bertanya padamu sayang. Apakah menurutmu, ujian kecil ini pantas membuat kita mengubah keputusan besar yang telah kita ambil?” perlahan namun tegas, Arul berusaha menyampaikan apa yang dirasakannya kepada gadis kesayangannya itu.
Meski masih belum dapat menangkap maksud dari kata-kata pemuda di sampingnya, namun senyum manis Arul membuat hati Ranti jadi sedikit lebih tenang.
“Tolong jelaskan Kak, apa maksud Kakak? Tolong, jangan buat aku jadi ketakutan setengah mati seperti tadi,” gadis manis itu berujar pelan sambil mengerlingkan matanya yang masih menyisakan embun di sudut pelupuk. Di pandangnya mata kekasih hati di hadapannya sambil berusaha mencari jawab yang tersimpan di dalam sana.
Dengan penuh kasih, Arul menggenggam jemari gadis terkasih yang ada di hadapannya. Dibalasnya tatapan mata teduh di hadapannya itu dengan sepenuh cinta.
“Ranti sayang, dengarkan aku Dik. Aku paham dengan permintaan ayah. Beliau amat menghormati Bude Wahyuni. Namun, sedekat apapun Bude dengan Ayah, dan seerat apapun pertalian darah  tetap saja nantinya saat kita menjalankan rumah tangga, akulah imammu. Bahkan ayah sudah tidak lagi bertanggungjawab atas dirimu. Tanggung jawab dan amanah besar Ayah, kelak akan berpindah kepadaku. Dosamu, menjadi dosaku. Baik buruknya keluarga kita, semua menjadi bebanku untuk bisa mengatur dan mengurusnya. Bukan lagi Ayah, apalagi Bude.”
Ranti terdiam. Penjelasan Arul coba dicernanya dalam-dalam. Dicermatinya tiap kalimat yang disampaikan kekasih hatinya itu.
“Ranti, kau masih yakin jika aku akan menjadi imammu yang terbaik kan? Sampai hari ini aku pun masih terus berharap, bahwa kamu adalah istri yang kelak akan kucintai karena Allah. Tidak ada hal-hal duniawi yang dapat mengurangi kadar cinta kita yang didasari atas rasa percaya pada-Nya, termasuk cincin emas 24 karat yang Budemu syaratkan.”
“Kakak ... maafkan aku, maafkan Ayah,“ jawab  gadis itu lirih. Kini Ranti mulai mengerti, apa pesan yang hendak disampaikan Arul melalui penjelasannya.
“Ranti, jika Ayah yakin bahwa aku adalah calon menantu yang baik dengan segala kondisi yang kumiliki, dan bila selama ini beliau meyakini kesungguhanku menikahimu, maka apapun pendapat orang lain terhadapku, sebaiknya beliau tetap yakin dan percaya padaku. Jika saat ini saja, saat kita bahkan belum memulai satu langkah pun dalam kehidupan perkawinan kita, dan Ayah sudah mulai terpengaruh dengan masukan-masukan dari luar yang bahkan mampu mempengaruhi keputusan yang sudah dibuat, bagaimana nanti bila hal seperti ini terjadi lagi saat kita sudah memulai kehidupan rumah tangga kita?”
Arul makin mempererat genggamannya pada jemari Ranti. Berusaha memberi gadis itu kekuatan, juga kenyamanan.
“Ranti, aku ingin Ayah mempercayaiku sepenuhnya, 100%, tanpa terpengaruh pendapat-pendapat apapun dari luar yang ingin mempengaruhi kehidupan kita. Aku ingin Ayah bisa mempercayaiku sepenuhnya, bahwa aku adalah imam terbaik bagi putrinya. Kau mengerti sayang?”
Ranti mengangguk pasti. Kini ia telah sepenuhnya mengerti. Hanya satu hal yang masih membuatnya bimbang.
“Kak, akankah Ayah bisa menerima keputusan kita ini? Bahwa kita akan tetap mempertahankan seperangkat alat sholat saja yang pantas menjadi mahar dalam pernikahan kita?”
Dengan senyum manis yang terkembang di bibirnya, pemuda gagah itu menjawab pertanyaan Ranti dengan pasti, “Aku yakin, Ayah adalah orang yang sangat bijaksana. Begitulah aku mengenalnya selama ini. Kita pasti bisa meluluhkan hatinya. Allah bersama kita Dik. Lagi pula, jika Bude mempermasalahkan tentang nama baik keluarga, selama ini Ayah tidak mempermasalahkannya bukan? Seharusnya justru Ayah bisa berbangga hati terhadap kita, karena anak-anaknya ini bisa memulai hidup mulia secara sederhana karena niatan suci, tidak untuk menyombongkan sesuatu yang sesungguhnya tidak menjamin kebahagiaan hidup masa depannya. Banyak bukan, pasangan yang memulai kehidupan pernikahannya dengan bermewah-mewah, namun berakhir dengan kegagalan?”
Ranti mengangguk mengiyakan.
“Lalu Bude?”
“Jika keponakannya saja bisa luluh hatinya dan takluk di hadapanku, apalagi Cuma Budenya. Bahkan selusin Bude pun aku siap. Akan kuhadapi para Bude tersayang ini dengan selusin cinta,” seloroh Arul sambil tertawa lebar.
Mendengar jawaban lelaki terkasihnya itu, Ranti Cuma bisa tersipu malu.
“Oya Ranti, satu lagi.”
“Apa Kak?”
“Tentang masalah cincin emas 24 karat itu.”
“iya?”
“Jika aku pergi lebih dulu darimu meninggalkan dunia ini. Dan sampai mati nanti, suamimu ini tidak juga bisa membelikanmu sebuah cincin karena ketidakmampuannya, inshaallah, aku akan menghadiahimu sebentuk cincin berlian kelak di syurga. Itu juga kalau kamu nanti masih mau hidup sesyurga bersamaku.”
Kedipan nakal Arul benar-benar sukses membuat pipi Ranti makin kemerah-merahan menahan malu.
“Ah, kakak ....”


***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Dikejar Bayang Kenangan

Suara-suara itu lagi .... Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis yang sedari tadi kutahan. Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.   Plak!!! Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, b

CERPEN : MUMUN ENGGAK PERNAH SALAH

Hari masih pagi. Nggak kayak biasanya, Bang Jali tetumbenan udah bangun. Matanya kelihatan banget masih kriyep-kriyep menahan rasa kantuk yang tersisa. Sesekali mulutnya yang dihiasi kumis melintang menguap lebar disertai suara "huwaaah" yang lumayan keras. "Apaan sih Bang, masih nguap bae!" Tetiba mata Bang Jali langsung melotot. Suara hardikan Mpok Mumun, istri kesayangannya sukses menghilangkan kantuk berat yang ngganjel di matanya. "Eeeh ... si montok udah siap. Neng Mumun jadi mau ke pasar nih?" Bang Jali cepat-cepat memasang muka manis di depan istrinya. "Lah, ya jadi dong Bang. Pan Mumun dah keabisan lipensetip inih. Boros bener sih. Gegara Abang inih," sambil manyunin bibirnya yang tebal nggak beraturan, Mpok Mumun menjawab pertanyaan suaminya itu dengan ketus. Bang Jali senyum-senyum sendiri mendengar ocehan perempuan kesayangannya itu. Imajinasinya langsung melayang ke mana-mana.  "Ayo deh Bang, berangkat!" Sial

Sering Stuck & Nge-blank Saat Menulis Padahal Ide Sedang Deras-derasnya? Lakukan Tips Menulis Efektif Berikut Ini

Dalam proses menulis, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang membuat langkah kita terhenti (stuck) di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan tulisan yang kita sedang kerjakan. Dan ternyata, alasan di balik terjadinya kondisi tersebut sering kali amatlah sepele. Salah satunya, kita merasa kualitas tulisan jadi "berbeda" dengan yang diharapkan. Padahal, sebenarnya ide menulis yg tengah "berkeliaran dan mengalir" di kepala begitu banyaknya, begitu derasnya. Dalam keadaan seperti ini, kita seakan-akan dibebani rasa bersalah karena tidak mampu menghasilkan tulisan seperti yang kita bayangkan, sesuai yang kita harapkan. Dan, kejadian sesudahnya tentu sangat mudah ditebak bukan? Ya, kita jadi malas melanjutkan tulisan tersebut, dan membiarkan ide yang berdatangan tadi akhirnya mengendap, pergi, dan menghilang.  Pernahkah sahabat sekalian berada dalam kondisi ini? Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita menyikapi kondisi ini? Amat disayangkan bukan, bila ide-ide b