Langsung ke konten utama

Cerbung : KERAK TELOR SPESIAL (Bag. 3)

Setelah memarkir Vespanya di teras Sobari langsung berlari masuk rumah. Dipanggilnya ibunya bahkan tanpa sempat mengucap salam.
"Mak! Mak dimana? nih pesenan kerak telornya. Maaaak!"
Tak lama terdengar sahutan keras dari dalam kamar. "Heh Sobari! Ngapain sih lo pake teriak-teriak? Berisik tau, Emak baru beres Isya inih," tergopoh-gopoh emak Sobari keluar dari kamar dengan masih mengenakan mukenanya. Wajah wanita paruh baya itu tampak sedikit gusar.
Sobari cuma bisa cengar-cengir menahan malu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak terasa gatal. "Iye Mak, maapin dah. Ini pesenannya. Buruan dah Emak cicipin."
"Ntar!" tukas emaknya cepat sambil bersiap kembali masuk ke kamar. Melihat emaknya balik arah, Sobari buru-buru menangkap tangan emaknya dan menahannya masuk kamar.
"Mak, ngapain masup kamar lagih? Ayo dah Mak cobain kerak telornya. Ntar keburu dingin, enggak enak deh," rayu Sobari sambil senyum manis.
Emak Sobari mencium ada gelagat aneh. "Tumben-tumbenan nih anak maksa gue makan pesenan kerak telor. Biasanya paling pesenan gue ditaroh meja, dicomot sepojokan terus ditinggal pergi ... " gumam ibu tua ini dalam hati.
"Ngapa nggak elo ajah yang makan duluan Bari? Biasanya pan begitu," emak tetap berusaha menahan diri untuk tidak langsung menuruti kemauan putranya. Dalam hatinya merasa penasaran dengan kelakuan aneh anak lelakinya ini.
"Ayo deh Mak, cicipin kerak telornya ... " Sobari masih terus saja merayu emak tercintanya supaya mau duduk dan mencicip kerak telor buatan Udin. Ia sangat penasaran, bagaimana rasa makanan yang dimasak bocah kecil ini tadi. Karena biar pun bentuk kerak telor ini tetap sama, dan mempunyai aroma yang juga menggugah selera seperti yang sebelum-sebelumnya dibuat sendiri oleh Bang Jalu, tetap saja hatinya tidak yakin akan kemampuan Udin.
Akhirnya emak Sobari mengalah. Wanita paruh baya ini duduk, dan segera mencicipi kerak telor pesanannya.
"Enak Mak?" tanya Sobari penasaran.
Sambil mengunyah suapan kerak telor di mulutnya, emak Sobari menjawab pendek, "Ya enaklah ... "
Seperti tak percaya, Sobari tiba-tiba langsung ikut duduk di sebelah emaknya, dan langsung menyuap sesendok kerak telor cepat-cepat. "Wah, iya ... enak ... " bisik Sobari pelan. Dalam hatinya kembali timbul rasa bersalah. Rasa malu karena telah meremehkan kemampuan Udin membuat lelaki ini tertunduk diam.
Melihat kelakuan anaknya, emak Sobari langsung bertanya penuh selidik. "Sebenernya, elo kenapa sih Bar? Kerak telor Bang Jalu pan emang enak. Mangkanya Emak minta Bari beli di situ."
"Sebenernya, begini Mak ... " Sobari pun langsung menceritakan semua kejadian saat ia membeli kerak telor di tempat Bang jalu. Mulai dari pertemuannya dengan Udin, saat bocah kecil ini dengan piawai memasak kerak telor pesanannya, sampai saat ia akhirnya pulang membawa si kerak telor pesanan tanpa membayar karena rasa tak yakinnya atas kemampuan anak bungsu Bang Jalu itu.
Selepas mendengar cerita Sobari, sontak emak Sobari berdiri dan langsung menjewer kuping anak lelakinya ini dengan keras. Sobari pun langsung berteriak kesakitan. "Aduh, ampun Mak, ampuuun ... "
"Elo yaa Sobari, malu-maluin Emak aja deh elo mah. Apa kata Bang Jalu ntar? Masak Emak makan kerak telor gratisan?"
"Iya Mak, maapin Bari. Abisnya Bari dongkol Mak, masak si Udin bocah kecil gitu yang mbikinin pesenan kita. Apa iya dia bisa?" sahut Sobari sambil mengusap-usap telinganya yang memerah hasil jeweran keras emaknya.
"Tapi kerak telornya Udin enak pan Bari? Rasanya sama gurih ama bikinan bapaknya, si Bang Jalu. Mangkanya, jangan suka gampang ngeremehin orang laen sebelom ngebuktiin sendiri. Biar bocah kecil, bisa jadi si Udin udah terlatih. Mangkanya dia ada di warung buat nggantiin bapaknya kan? Dan biar dia masih bocah, atinya bijaksana, luas kayak orang gede. Tuh nyatanya dia ikhlas suruh elo bawa aja kerak telornya tanpa bayar dulu kan? Pake minta maap lagi, kalo misalnya masakannya gak enak ... " emak Sobari panjang lebar menasehati anak lelakinya ini. Sobari cuma bisa tertunduk dalam.
"Iya Mak, Bari ngaku salah udah ngeremehin si Udin," akhirnya Sobari menyahut sambil tersenyum malu. "Bari pergi dulu ya Mak, mau balik ke tempat Udin. Bari mau bayar sekalian minta maap sama dia."
Emak tersenyum kecil sambil mengangguk ke arah Sobari. Wanita tua ini tampak senang hati melihat anaknya bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang baru dialaminya.
Selepas menyalami dan mencium tangan emaknya, Sobari langsung beranjak pergi. Dalam hatinya ia tak sabar lagi untuk bisa kembali bertemu dengan Udin, si bocah kecil penjual kerak telor pengkolan yang telah memberinya pelajaran berharga.




Akhirnya, tamat alias the end. (^ _^)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Dikejar Bayang Kenangan

Suara-suara itu lagi .... Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis yang sedari tadi kutahan. Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.   Plak!!! Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, b

CERPEN : MUMUN ENGGAK PERNAH SALAH

Hari masih pagi. Nggak kayak biasanya, Bang Jali tetumbenan udah bangun. Matanya kelihatan banget masih kriyep-kriyep menahan rasa kantuk yang tersisa. Sesekali mulutnya yang dihiasi kumis melintang menguap lebar disertai suara "huwaaah" yang lumayan keras. "Apaan sih Bang, masih nguap bae!" Tetiba mata Bang Jali langsung melotot. Suara hardikan Mpok Mumun, istri kesayangannya sukses menghilangkan kantuk berat yang ngganjel di matanya. "Eeeh ... si montok udah siap. Neng Mumun jadi mau ke pasar nih?" Bang Jali cepat-cepat memasang muka manis di depan istrinya. "Lah, ya jadi dong Bang. Pan Mumun dah keabisan lipensetip inih. Boros bener sih. Gegara Abang inih," sambil manyunin bibirnya yang tebal nggak beraturan, Mpok Mumun menjawab pertanyaan suaminya itu dengan ketus. Bang Jali senyum-senyum sendiri mendengar ocehan perempuan kesayangannya itu. Imajinasinya langsung melayang ke mana-mana.  "Ayo deh Bang, berangkat!" Sial

Sering Stuck & Nge-blank Saat Menulis Padahal Ide Sedang Deras-derasnya? Lakukan Tips Menulis Efektif Berikut Ini

Dalam proses menulis, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang membuat langkah kita terhenti (stuck) di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan tulisan yang kita sedang kerjakan. Dan ternyata, alasan di balik terjadinya kondisi tersebut sering kali amatlah sepele. Salah satunya, kita merasa kualitas tulisan jadi "berbeda" dengan yang diharapkan. Padahal, sebenarnya ide menulis yg tengah "berkeliaran dan mengalir" di kepala begitu banyaknya, begitu derasnya. Dalam keadaan seperti ini, kita seakan-akan dibebani rasa bersalah karena tidak mampu menghasilkan tulisan seperti yang kita bayangkan, sesuai yang kita harapkan. Dan, kejadian sesudahnya tentu sangat mudah ditebak bukan? Ya, kita jadi malas melanjutkan tulisan tersebut, dan membiarkan ide yang berdatangan tadi akhirnya mengendap, pergi, dan menghilang.  Pernahkah sahabat sekalian berada dalam kondisi ini? Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita menyikapi kondisi ini? Amat disayangkan bukan, bila ide-ide b

CERPEN : CINCIN BERLIAN DARI SYURGA

“Kau harus segera menyampaikan keputusan keluarga ini kepada Arul. Segera, Ranti. Jika ikatan kalian ini tetap ingin dilanjutkan.” Deg! Ucapan Pak Purwo barusan benar-benar mengejutkan Ranti.  Ayahnya belum pernah seperti ini sebelumnya. Pak Purwo adalah seorang lelaki yang demokratis, bijaksana, meski terkenal tegas dan amat menjaga prinsip bila itu berkaitan dengan kebenaran. Namun ketegasannya selama ini selalu disampaikan dengan lembut. Kecuali hari ini. Kata-kata lelaki paruh baya yang masih tampak gagah ini terdengar tajam, menekan, menusuk tepat ke hati. Bagi Ranti, ini menjadi pertanyaan besar di kepalanya. “Kenapa tiba-tiba Ayah mengubah keputusan yang sudah kita sepakati? Tidak bisa seperti ini Ayah ... ” tanya gadis ini dengan nada putus asa. “Ayah mohon Ranti, mintalah pengertian Arul. Ini bukan tentang Ayah yang tidak mau menerima Arul apa adanya. Ayah sangat ikhlas melepasmu menjadi istrinya. Ayah hanya minta sedikit pengertiannya. Dalam masalah ini saja. Ini