Langsung ke konten utama

MEMOAR : SEPOTONG MENDOAN CINTA DARI EMAK

“Ya ampun, yang bener aja Pur, mosok potongan mendoannya kecil-kecil banget kayak gini sih!”
Seketika berondongan komentar pedas dari Emak meluncur deras tanpa bisa kujeda sedikit pun. Emak tampak gusar setelah melihat hasil tempe mendoan yang baru saja kuangkat dari penggorengan tampilannya tak sesuai dengan ekspektasinya.
“Aduuuh, apa kata Edy nanti kalo lihat tempe hasil gorenganmu ukurannya macam ini. Kayak orang susah aja sih kita, menjamu tamu jauh kok sembarangan kayak gini. Sudah deh nanti ayamnya Emak aja yang potong!”
Duh, rasanya panas hatiku mendengar omelan Emak tadi. Tapi, meskipun kesal hati, tetap kembali kulanjutkan menggoreng racikan tempe berbalur tepung yang masih tersisa di dalam mangkok adonan mendoan di hadapanku.
“Ish, kejadian lagi deh yang kayak gini ... “ sungutku dalam hati.
Meskipun dongkol, sebenarnya di dalam hati aku sedikit menyesal juga, kenapa tadi tidak mendengarkan baik-baik pesan Emak saat memintaku menyiapkan potongan tempe yang pantas untuk dijadikan gorengan tempe mendoan yang selama ini menjadi andalan Emak saat menjamu tamu istimewa. Kalau tadi aku ikuti benar-benar instruksi dari Emak, pasti aku tidak akan kena omelan seperti tadi. Tapi mau dibilang apa lagi. Lha wong tempenya juga sudah habis kupotong-potong, dan bahkan sudah hampir selesai kusulap jadi gorengan mendoan semua. Urusan komentar tamu tentang hasil gorengan tempe mendoanku ini nanti, masa bodohlah. Urusan nanti. What ever will be, will be deh!!!
Dan benar saja. Malam harinya, saat Edy, sepupu jauhku dari Makassar yang tengah menjalani pendidikan perwira kepolisian di Sukabumi malam itu mampir untuk mengunjungi tempat tinggal kami, beragam komentar lucu sekaligus menyakitkan bertubi-tubi kuterima akibat mendoan yang kubuat. Kalau boleh dikatakan, malam itu aku terperangkap, di-bully habis-habisan lewat canda gurau Emak, Bapak dan juga sepupu Polisiku itu tanpa bisa berkutik melawan.
“Wah, Mbak Pur ternyata pintar masak yaa Bude. Mendoannya enak banget. Nggak ngerepotin lagi. Sekali suap tempenya langsung tandas.”
“Iya Dy, Pur sengaja buat potongan mendoannya ngikuti kebiasaan menu ransum di tempat pendidikanmu. Biar kamu nggak kaget pas lihat ukuran makanan di luar beda jauh sama di Sukabumi sana.”
“Wah, hasil survey Mbak Pur kurang pas Bude. Ukuran tempe di tempat Edy lebih gede sedikit dari yang di Ciganjur sini.”
Dan, geeerrrrr ... seisi rumah tertawa riang menanggapi candaan Edy. Dan aku cuma bisa mesam-mesem sambil menahan gemas melihat tingkah sepupuku yang satu ini. Huh, sebal!!!

Sejak kecil, aku memang dikenal sebagai anak yang sangat perhitungan dan serba irit. Dalam hal mengeluarkan uang jajan misalnya, aku akan sangat berhati-hati saat harus membelanjakanannya. Apalagi jika harus berbagi atau mentraktir orang lain, wah, sifatku yang satu ini sudah pasti sangat dominan terlihat dan pastinya seringkali membuat gemas banyak teman-teman sepermainanku. Dan seiring berjalannya waktu, ternyata sifat perhitunganku ini terus terbawa sampai aku beranjak dewasa. Dan satu hal penting telah menjadi catatan khusus bagi Emak tentang sifatku yang satu ini. Yaitu saat aku harus meracik bahan-bahan makanan di waktu  memasak. Dan Emak, sudah sangat hapal tentang hal ini. Menurut Emak, potongan bahan makanan yang kuhasilkan sama iritnya dengan sifatku. Sehingga, tiap kali ada acara khusus yang diselenggarakan di rumah dan mengharuskan keluargaku menyiapkan hidangan, Emak pasti sangat berhati-hati dalam memberi arahan dan instruksi bagiku saat harus memotong bahan makanan seperti tempe, tahu, daging ayam, dan beberapa bahan makanan lainnya agar hasil masakan yang dihasilkan nantinya jadi standar. Ya, standar, begitu istilah yang biasa dipakai Emak untuk menjelaskan ukuran masakan yang sesuai dengan seleranya. Dan meskipun sebenarnya aku juga setuju dengan standar yang dipakai Emak dalam ukuran potongan masakannya, tetap saja aku kerap merasa kesal hati setiap kali hasil masakanku dikomentari dan dapat banyak penilaian. Yang penting kan rasanya enak, iya nggak sih?

Kejadian tempe mendoan yang tidak sesuai standar itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih duduk di kelas 3 SMA. Tapi sampai hari ini, tepat dua puluh tahun  kemudian setelah peristiwa itu terjadi, semua kenangan tentang tempe mendoan itu masih sangat membekas di kepalaku. Namun, bila dulu tragedi tempe mendoan itu selalu membuat hatiku kesal dan dongkol tiap kali mengingatnya, kini cara pandangku terhadap peristiwa itu secara drastis telah jauh berubah. Begitu pula dengan cara pandangku terhadap Emak.
Sebuah peristiwa tak terlupakan telah membuatku memiliki pandangan yang sama sekali berbeda tentang standar masakan yang ditetapkan oleh Emak, juga telah benar-benar mampu membuka mataku bahwa apa yang dilakukan Emak bukan semata-mata membuat standar ukuran masakan menjadi sebegitu penting untuk kuketahui. Ternyata, dibalik aturan standar yang ditetapkan Emak, terselip sebuah pelajaran hidup yang tak ternilai harganya bagiku.
Peristiwa penting yang telah mengubah hidupku ini terjadi sekitar tujuh belas tahun yang lalu. Saat itu juga merupakan masa-masa terindah dalam hidupku, ketika akhirnya seorang pemuda yang baik hati memutuskan dengan sepenuh hatinya untuk memindahkan tanggung jawab Bapak atasku ke pundaknya. Saat itu, pertengahan bulan Mei tahun 2000. Pemuda baik-baik itu memutuskan untuk membawa keluarganya menemui Emak dan Bapak sebagai langkah awal menjalin tali silaturahim sebelum akhirnya hubunganku dengannya diresmikan dalam tali pernikahan.
Dan, bisa dipastikan. Betapa sibuknya Emak dalam menyambut datangnya hari pertemuan dua keluarga besar itu. Berbagai hal dipersiapkan dalam rangka menyambut kedatangan pihak keluarga calon mempelai pria, yang dalam hal ini adalah bakal calon menantunya. Salah satunya adalah kesiapan jamuan makan siang yang akan disajikan kepada para tamu yang akan hadir dalam acara itu.
Satu hari menjelang hari H, aku ikut sibuk dengan Emak di dapur. Kami dibantu beberapa sanak kerabat sama-sama tengah menyiapkan beragam menu masakan untuk acara besok hari. Dan seperti biasa, instruksi Emak mulai terdengar saat aku mulai menyentuh pisau dapur. Tak seperti biasanya, hari itu kuikuti instruksi Emak baik-baik. Setelah sekian lama berjibaku dengan standarisasi potongan makanan ala Emak bahkan kerap kali menentangnya, hari itu aku tak berniat sedikitpun mempertentangkan masalah ini. Entah mengapa, hari itu aku ingin sekali menyampaikan pertanyaan yang selama ini selalu kusimpan rapat-rapat di dalam hati. Hari itu aku sangat ingin mengetahui alasan dibalik instruksi Emak yang selalu mengingatkanku untuk mengikuti standar potongan makanan yang ditetapkannya.
Pelan-pelan kudekati Emak yang tengah sibuk memilah satu-satu cabai yang busuk di antara tumpukan cabai merah yang bagus kondisinya. Emak menoleh ke arahku saat pelan-pelan aku duduk di sisinya.
“Hai nduk, ada apa?” tampak sedikit heran melihat kelakuanku, Emak menyapaku pelan.
“Mak, boleh Pur tanya sesuatu?”
Mendengar pertanyaanku, Emak pun mengalihkan perhatiannya dari tumpukan cabai merah di hadapannya, dan menghadap ke arahku. Kulihat Emak menganggukkan kepalanya dua kali, tanda mengiyakan pertanyaanku barusan. Wajah wanita terkasih ini tampak penasaran dengan pertanyaan yang akan kusampaikan selanjutnya.
“Mak, sebenarnya apa yang salah dari ukuran potongan tempe yang biasa Pur buat? Apa iya ukuran tempe itu sebegitu pentingnya? Bukankah rasa dari masakan jauh lebih penting dari pada ukurannya? Menurut Emak, masakan Pur enak kan Mak?”
Mendengar rentetan pertanyaan yang kuajukan, senyum Emak mengembang lebar. Wajah wanita yang amat kucintai ini tampak sumringah. Perlahan diambilnya kedua tanganku, digenggamnya erat-erat dalam genggamannya. Hatiku tiba-tiba terasa hangat.
Nduk, sebenarnya tidak ada yang salah dengan potongan tempe mendoanmu. Masakanmu enak, bahkan Bapak sangat suka dengan racikan masakanmu yang sangat berani bumbu. Nggak seperti bikinan Emak yang adem katanya,” senyum Emak kembali terkembang. Lalu setelah terdiam beberapa saat, Emak kembali melanjutkan kata-katanya, “Sebenarnya, ini bukan masalah ukuran tempe yang kekecilan, atau tidak sesuai standar. Bukan Nduk. Selama ini Emak Cuma ingin menunjukkan padamu, pada adik-adikmu, pada Bapak, pada semua keluarga kita, bahwa dibalik tiap potongan tempe mendoan ataupun ayam goreng yang Emak masak, terdapat cinta dan kasih sayang di dalamnya untuk kalian. Emak tidak punya kelebihan apa-apa dalam diri Emak yang bisa dibanggakan. Emak Cuma perempuan biasa, yang nggak pandai berkata-kata, nggak pintar membuat sesuatu yang luar biasa. Cuma lewat masakan, lewat setiap potong makanan yang Emak sajikan, di situ cinta Emak sampaikan. Lewat potongan makanan yang Emak buat, di situ pula harga diri keluarga kita Emak sematkan. Sesederhana itu Nduk.”
Kulihat kilatan bening di ujung mata Emak. Ya Allah, ternyata sedalam itulah Emak memaknai cinta di tiap potongan dari masakan yang disajikannya setiap hari. Rasa haru melingkupi hatiku setelah mendengar jawaban Emak tercintaku. Rasa sayangku pada perempuan paruh baya yang duduk di hadapanku ini pun makin membuncah, sepenuh jiwa, sepenuh hatiku.
Tiba-tiba kudengar Emak berbisik pelan di telingaku, “Pur, besok kan calon mertuamu pada datang berkunjung. Apa tega kalo Emak bikin tempe seukuran mendoanmu yang itu?”
Tawa bahagia pun tertumpah. Para kerabat yang tengah membantu di dapur sampai terheran-heran melihat kami berdua anak-beranak ini tertawa terbahak-bahak sambil perpelukan hangat.
Ah ... Emak. Tenang saja. Hari ini Pur akan ikuti instruksi Emak. Sebesar apapun potongan tempe dan ayam goreng yang akan kita buat, Pur tahu, cinta Emak di dalam tiap sajian masakan itu jauh lebih besar lagi. Tiada bandingnya.

Hingga kini, belasan tahun sesudah peristiwa bersejarah itu terlewati, potongan masakanku masih saja terlihat kecil dan irit seperti yang sudah-sudah. Paling tidak begitu menurut Emak. Dan  potongan masakan Emak yang fenomenal hingga kini tetap menjadi primadona keluarga, termasuk juga untuk anak-anakku yang selalu merasa senang hati setiap kali kuajak berkunjung ke rumah neneknya. Karena di rumah ini, mereka selalu mendapatkan sajian teristimewa yaitu potongan tempe mendoan dan ayam goreng spesial bertabur cinta kasih dari nenek tercinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Dikejar Bayang Kenangan

Suara-suara itu lagi .... Suara-suara menakutkan yang selama ini sudah sangat akrab di gendang telingaku. Pekikan keras ayah yang diikuti jerit tangis ibu dari ruang tengah mulai terdengar bersahutan. Dan aku hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok kamarku yang kubiarkan gelap tanpa cahaya, sambil menahan sesak di dadaku akibat isak tangis yang sedari tadi kutahan. Selalu seperti ini. Mereka berdua kerap membiarkanku menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Sepertinya mereka tak pernah menyadari, bahwa perselisihan ini sangat menakutkan untukku. Menakutkan sekali, saat harus melihat dua orang yang sangat kau kasihi saling menyerang, memaki dan mencaci. Tak tampak lagi wajah-wajah teduh penuh cinta dan dekapan sayang yang biasanya selalu tercurah dengan mesra.   Plak!!! Aku terkesiap. Tiba-tiba bunyi tamparan yang cukup keras terdengar, dan suara-suara gaduh itu pun terhenti. Dengan sekali gerakan, aku bangun dan berjingkat pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, b

CERPEN : MUMUN ENGGAK PERNAH SALAH

Hari masih pagi. Nggak kayak biasanya, Bang Jali tetumbenan udah bangun. Matanya kelihatan banget masih kriyep-kriyep menahan rasa kantuk yang tersisa. Sesekali mulutnya yang dihiasi kumis melintang menguap lebar disertai suara "huwaaah" yang lumayan keras. "Apaan sih Bang, masih nguap bae!" Tetiba mata Bang Jali langsung melotot. Suara hardikan Mpok Mumun, istri kesayangannya sukses menghilangkan kantuk berat yang ngganjel di matanya. "Eeeh ... si montok udah siap. Neng Mumun jadi mau ke pasar nih?" Bang Jali cepat-cepat memasang muka manis di depan istrinya. "Lah, ya jadi dong Bang. Pan Mumun dah keabisan lipensetip inih. Boros bener sih. Gegara Abang inih," sambil manyunin bibirnya yang tebal nggak beraturan, Mpok Mumun menjawab pertanyaan suaminya itu dengan ketus. Bang Jali senyum-senyum sendiri mendengar ocehan perempuan kesayangannya itu. Imajinasinya langsung melayang ke mana-mana.  "Ayo deh Bang, berangkat!" Sial

Sering Stuck & Nge-blank Saat Menulis Padahal Ide Sedang Deras-derasnya? Lakukan Tips Menulis Efektif Berikut Ini

Dalam proses menulis, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang membuat langkah kita terhenti (stuck) di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan tulisan yang kita sedang kerjakan. Dan ternyata, alasan di balik terjadinya kondisi tersebut sering kali amatlah sepele. Salah satunya, kita merasa kualitas tulisan jadi "berbeda" dengan yang diharapkan. Padahal, sebenarnya ide menulis yg tengah "berkeliaran dan mengalir" di kepala begitu banyaknya, begitu derasnya. Dalam keadaan seperti ini, kita seakan-akan dibebani rasa bersalah karena tidak mampu menghasilkan tulisan seperti yang kita bayangkan, sesuai yang kita harapkan. Dan, kejadian sesudahnya tentu sangat mudah ditebak bukan? Ya, kita jadi malas melanjutkan tulisan tersebut, dan membiarkan ide yang berdatangan tadi akhirnya mengendap, pergi, dan menghilang.  Pernahkah sahabat sekalian berada dalam kondisi ini? Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita menyikapi kondisi ini? Amat disayangkan bukan, bila ide-ide b

CERPEN : CINCIN BERLIAN DARI SYURGA

“Kau harus segera menyampaikan keputusan keluarga ini kepada Arul. Segera, Ranti. Jika ikatan kalian ini tetap ingin dilanjutkan.” Deg! Ucapan Pak Purwo barusan benar-benar mengejutkan Ranti.  Ayahnya belum pernah seperti ini sebelumnya. Pak Purwo adalah seorang lelaki yang demokratis, bijaksana, meski terkenal tegas dan amat menjaga prinsip bila itu berkaitan dengan kebenaran. Namun ketegasannya selama ini selalu disampaikan dengan lembut. Kecuali hari ini. Kata-kata lelaki paruh baya yang masih tampak gagah ini terdengar tajam, menekan, menusuk tepat ke hati. Bagi Ranti, ini menjadi pertanyaan besar di kepalanya. “Kenapa tiba-tiba Ayah mengubah keputusan yang sudah kita sepakati? Tidak bisa seperti ini Ayah ... ” tanya gadis ini dengan nada putus asa. “Ayah mohon Ranti, mintalah pengertian Arul. Ini bukan tentang Ayah yang tidak mau menerima Arul apa adanya. Ayah sangat ikhlas melepasmu menjadi istrinya. Ayah hanya minta sedikit pengertiannya. Dalam masalah ini saja. Ini