Menginginkanmu,
Bagaikan
tidak ada lagi hal lain di dunia ini yang ku inginkan
Mendambamu,
Mengalihkan
pandangku dari beragam warna-warni keindahan dunia di hadapan
Mengharapkanmu,
Hatiku
tak lagi inginkan yang lain, tak lagi ada ....
Namun
mengapa saat ku akhirnya harus menerimamu,
Mengapa
logika yang tadinya bak hilang lenyap tak terlihat
Justru
kini mengarahkanku untuk mengulang, membuat pertimbangan tuk memperhitungkanmu?
Perkenalan kita, telah dimulai sejak aku memutuskan untuk
melanjutkan pendidikan tingkat tinggi di kampus ini. Ya, sosok gagah dengan
senyum bijak yang selalu meghiasi bibirmu, sering kali melintas di hadapan.
Bagaimana tidak? Kau adalah salah satu dosen yang bertugas menyampaikan materi
perkuliahan di kelasku sejak awal semester.
Pertemuan demi pertemuan yang terjadi selang beberapa waktu
kemudian, kurasa tidak ada yang istimewa. Beberapa semester kau mengampu mata
kuliah di kelasku, hubungan yang terjalin adalah bentuk ikatan normal antara
pengajar dan mahasiswa. Tidak kurang, tidak lebih.
Namun semua mulai berubah, justru di saat aku akhirnya
berhasil menyelesaikan pendidikanku. Saat itu kampus memintaku untuk bersedia
mengabdi sebagai tenaga magang di laboratorium komputer, salah satu tempat
belajar favoritku saat kuliah dulu. Sebagai mahasiswa jurusan Informatika
Komputer, tentunya laboratorium komputer adalah sebuah sarang yang amat nyaman bagiku
dan juga rekan-rekan sejurusan. Baik sebagai tempat berkumpul dan belajar
bersama, juga sebagai tempat ngerumpi
ala mahasiswa komputer yang pastilah berbeda jenis pergaulannya dengan
anak-anak sosial. Komunikasi gaya batu, begitu beberapa mahasiswa jurusan lain
melabeli kelompok kami. Mereka menyebut kami sebagai orang-orang aneh, yang
lebih lancar ngobrol dengan benda mati daripada dengan mereka, para mahkluk
hidup.
Aku sangat antusias menerima tawaran magang itu. Dan tak
butuh waktu lama bagiku untuk langsung bisa menikmati aktivitas baruku sebagai
karyawan magang di kampus. Suasana yang hangat, juga lingkungan kerja yang
sesuai dengan bidang yang kuminati membuatku benar-benar bisa beradaptasi
dengan mudah di sini. Dan di saat itulah, kau mulai memasuki bagian berbeda
dalam kehidupanku.
Semua dimulai dari kartu nama karyawan yang tertukar. Ya,
saat itu genap satu bulan aku bekerja. Sebagai penunjang aktivitas setiap
karyawan di kampus, bagian HRD secara berkala membuatkan kartu nama yang harus
kami pakai sepanjang waktu aktif kantor. Dan hari itu, seorang staff HRD mendatangi
ruang kerjaku dan memberikan sebuah kotak kecil berbungkus kertas sampul coklat
yang di dalamnya berisi kartu namaku.
“Terima kasih Mbak,” hanya itu kata-kata yang kuucapkan pada
Mbak Yanti, staff HRD kampusku yang masih tampak cantik meski berada di usia kepala
empat. Wanita berambut pendek itu langsung membalas sapaanku dengan senyum
kecilnya yang khas, kemudian bergegas pergi melanjutkan tugas membagikan kartu
ke karyawan lainnya. Selepas itu, aku kembali fokus ke pekerjaan, dan tak lagi
peduli dengan kotak sampul coklat berisi kartu namaku yang kubiarkan tergeletak
di meja kerja.
Beberapa saat kemudian aku terkesiap kaget. Saat itu kulihat
wajahmu menyembul secara tiba-tiba di balik pintu.
“Kaget yaa Mbak Um?” sapamu disertai senyum menggoda. Ah,
aku pasti terlihat lucu saat terkejut tadi.
“Pak Amir, duh ngagetin aja sih Pak,” sahutku sambil
pura-pura cemberut tak suka. Dan kau langsung menyambut sungutanku dengan tawa
renyahmu yang lepas.
“Maafin deh yaa, nggak maksud begitu tadi. Maaf yaa adik
manis.”
Ah, kamu. Rasanya aneh mendengarmu memanggilku dengan
sebutan “adik manis”. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelusup hangat ke
dalam hati. Tiba-tiba saja rasa panas menjalari wajahku. Kubayangkan warna
pipiku pasti bersemu merah.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?” akhirnya kucoba menetralisir
kondisi dengan menanyakan maksud kedatanganmu.
“Mbak Um, sudah buka name
card-nya?” tanyamu ramah namun penuh selidik. Namun sebelum aku sempat
memberikan jawaban, pandangan matamu langsung tertumpu pada kotak sampul coklat
yang tergeletak di atas meja kerjaku dan masih utuh terbungkus. Dan tawa
renyahmu pun mulai terdengar.
“Ibu, perkenalkan, nama saya Umi Salsabila. Senang
berkenalan dengan Anda,” ucapmu ramah sambil menjabat tanganku. Aku sempat
terbengong-bengong sesaat atas perkenalan yang kau sampaikan, sebelum akhirnya
aku menyadari bahwa di bagian depan saku kemejamu tersemat kartu nama karyawan
dengan tulisan namaku di sana.
“Wah, tertukar yaa Pak? Aduh mohon maaf, saya tidak tahu,” sahutku
segera sambil tersenyum malu.
“Tidak apa-apa kok Mbak Amir Yahya, ini kan bukan salah
Anda,” ujarmu pelan sambil tertawa kecil. Dan aku makin tidak dapat
menyembunyikan rasa malu yang kuyakin sangat terlihat di wajahku.
Ya, sejak kasus name
card yang tertukar itu, komunikasi yang terjalin di antara kita jadi makin intens. Hubungan antara dosen dan
(mantan) mahasiswa yang memiliki batasan meski tak terlihat, pelan-pelan mulai
pudar, berganti dengan ikatan persahabatan yang tak pandang batasan usia dan
jabatan. Tidak ada lagi rasa kikuk yang menyerangku bila kita bertemu. Obrolan
yang tercipta selalu mengalir hangat diselingi gurau canda yang tak pernah
terpikir bisa kulakukan bersamamu.
Kamu, dosen bahasa Inggrisku, adalah seorang laki-laki single yang matang di pertengahan usia
tiga puluhan dengan tampilan bersahaja di setiap waktu. Tipe yang sangat khas
sebagai seorang pengajar dan pendidik. Meski tak terlalu tampan, tapi kau
memiliki postur tubuh yang tinggi dan gagah. Rasanya pasti amat nyaman dan aman
bila berada di dekatmu. Selain itu, bentuk wajahmu yang selalu dihiasi senyum,
amat menyenangkan bila dipandang. Tutur bahasamu yang santun selalu kau selingi
dengan sikap ramah yang mampu menarik hati setiap lawan bicaramu. Dalam waktu
singkat, sifatmu ini akhirnya mampu meluluhkan hatiku. Beberapa waktu
berselang, kau terus hadir mengisi hari-hariku, juga secuil tempat kosong di
hatiku tanpa mampu kucegah. Bahkan aku tak lagi begitu peduli dengan perbedaan
usia yang terpaut jauh di antara kita. Aku sudah tak lagi memikirkan tentang
dirimu yang lebih tua sebelas tahun dariku. Cinta, membuatku bisa menerima
segala perbedaan yang ada.
Dan, selang dua tahun kemudian, akhirnya pengharapan
sepihakku padamu berbuah jawab. Ternyata kau juga memiliki keberpihakan yang
sama denganku, juga dengan hatiku. Rasanya bahagia sekali saat gayung
bersambut. Cintaku ternyata tak bertepuk sebelah tangan.
Tak butuh waktu lama bagimu untuk langsung menunjukkan bukti
kesungguhan cintamu. Tak lama berselang setelah kau menyatakan perasaanmu, niat
baik pun kau sampaikan kepada keluargaku. Ya, lamaran itu pun akhirnya datang.
Melihat keseriusanmu, orang tuaku akhirnya menyambut baik uluran tangan pihak
keluargamu untuk menjalin silaturahim lebih erat dalam ikatan janji suci.
Rasanya semua berjalan baik-baik saja. Segala persiapan
telah dilakukan. Pernikahan kita tinggal menunggu waktu. Siapa sangka, ternyata
di masa-masa penantian ini, ada banyak tantangan yang menanti untuk disikapi
secara bijak oleh kita berdua. Masalah dimulai saat pembicaraan tentang mahar
yang akan kau berikan padaku menjadi sedikit serius diselingi dengan ketegangan
yang seharusnya tak perlu terjadi.
“Kenapa sajadah Bang?” Kucoba bicara dengan perlahan agar
emosiku tetap bisa kukontrol. Namun entah mengapa, suaraku justru terdengar
seperti sebuah gerutuan daripada pertanyaan.
“Apa yang salah dengan itu Dik?” ujarmu lembut.
Aku mendengus pelan. Rasa kecewa masih membayang di mataku.
“Ah, aku tak harus menjelaskan ini kan Bang?” rutukku dalam hati. Dan rasa
kesal makin membayangiku saat kulihat wajahmu terus saja mengumbar senyum kecil
ke arahku. “Kau benar-benar tidak peka Bang!” jerit batinku. Sebagai wanita
normal, aku sudah dapat banyak informasi dan gambaran dari lingkunganku, bahwa
mahar seharusnya merupakan sebuah simbol penghormatan pihak pengantin lelaki
kepada calon mempelainya. Penghormatan. Penghargaan terhadap nilai diri dari
calon pasangan hidupnya dengan harga yang semestinya jauh lebih pantas dari
pada .... Ah, kenapa rasanya sakit sekali membayangkan betapa calon suamiku tak
mengerti apa yang kuinginkan.
Tiba-tiba, kulihat kau berdiri mendekat, lalu duduk di
sampingku. Matamu lembut memandang ke arahku. Lembut, namun terasa tajam
menusuk. Menghujam dalam ke titik terdalam dari sanubari pikirku. Entah
mengapa, saat itu hatiku merasa bersalah.
“Dik, aku tahu apa yang kau pikirkan. Dan maafkan aku, jika
harapanmu ternyata tak sebanding dengan kemampuanku untuk bisa membahagiakanmu
dengan kebahagiaan sesuai versimu.”
Mendengar ucapanmu, sejurus aku terpaku. Mulutku ingin
bicara, namun lidahku terasa kelu.
“Aku paham Dik, kau pasti berharap aku bisa menghujanimu
dengan kesenangan hidup di awal langkah perjalanan kita ini, sebagai ganti dari
kebebasanmu yang kuambil dan mengubahnya menjadi kehidupan penuh ikatan dengan
batasan yang erat. Sekali lagi maafkan aku yang tak bisa memenuhi inginmu saat
ini. Mohon maafkan keterbatasanku. Demi Allah, ini semua adalah salahku bila
kau melihatnya sebagai sebuah kesalahan.”
Kulihat matamu mulai berkaca-kaca. Bibirmu bergetar, menahan
emosi yang meluap dari dasar hatimu. Dan sejurus kemudian, aku pun sudah tak
mampu lagi membendung linangan kepedihan yang mulai menitik satu-satu di
pipiku. Kepedihan yang timbul akibat rasa malu dan bersalah akibat kesadaran
yang sempat kurasakan menghilang pergi dari nalarku saat kudengar kelanjutan
dari ucapanmu yang bermakna dalam.
“Dik, peganglah janjiku. Pegang kata-kataku ini. Sebagai
suamimu kelak, aku berjanji, demi Allah, aku akan berikan kebahagiaan hidup
bagimu sesuai keridhoan Allah Ta’ala. Sebab, aku mencintaimu karena Dia, dan
aku berharap bahwa ikatan ini akan bernilai tak hanya di dunia, tapi juga
hingga ke syurga. Sajadah ini mungkin
tak memiliki nilai materi tinggi bila dibandingkan dengan perhiasan emas
permata. Namun percayalah, di dalam sajadah ini, kutanamkan rasa cintaku yang
dalam kepadamu. Sebentuk niat suci yang kuharapkan tetap ada hingga waktu tiada
lagi. Sebuah bukti cinta antara kau dan aku, yang sama-sama tertuju untuk
setiap saat selalu mengharapkan ridho-Nya.”
Saat itu, luruh sudah segala ego dan kesombonganku. Hilang
sudah segala keinginan atas penghargaan duniawi yang sebelumnya mengungkung
egoku. Seketika ku ambil sajadah warna biru tua yang sebelumnya terabaikan,
kubiarkan teronggok di sudut ruangan. Dan dengan suara bergetar penuh haru,
kuhamburkan segenap penyesalan dan permohonan maafku padamu melalui sebaris
kata yang kuyakin kau pahami secara mendalam maknanya.
“Abang, tiada lagi yang kuinginkan di dunia ini, selain
keridhoanmu, juga keridhoan-Nya. Dan dengan ini kuterima sajadah cinta ini
dengan segenap hatiku, sepenuh raga dan jiwa. Kuikhlaskan diri tuk bersiap
arungi hidup ini bersamamu, di dunia, hingga ke syurga.”
***
"Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.”
‘Sebaik-baik wanita ialah yang paling mudah (ringan) maharnya.’
Al-hadits
Hallo Bu... Mengisi awal tahun dengan menghasilkan karya termasuk menulis sebuah cerpen, Bu Umie makin menunjukkan ketertarikannya, mempertahankan konsistensinya, dalam dunia sastra. Menceritakan tentang sebuah pernikahan, dari "kartu nama yang tertukar" sampai "sajadah cinta", saya menikmati cerita tersebut, Bu. Menarik dan bermakna dalam.
BalasHapus- ARIF SYAHERTIAN