Lakon kehidupan anak Adam
nan fana
Pergulatan nasib yang
tertulis sejak awal peradaban tercipta
Hasil guratan pena nan
sempurna karya Sang Pencipta
Dengan rasa kesal yang
menggunung, segera saja kumasukkan laptop dan buku-buku yang bergeletakan di
atas meja belajar ke dalam tas. Sedikit terburu-buru ku langsung berlari cepat
menuju teras depan. Sudah jam 10. Dan tak ada seorang pun yang ingat untuk
membangunkanku. Padahal presentasi proposal judul skripsiku dijadwalkan pukul 8
pagi tadi.
Tidak juga dengan Mbok Irah.
Jelas-jelas semalam sudah kuingatkan perempuan tua itu agar tidak lupa
membangunkanku pagi-pagi sekali. "Ah, dasar pembantu pikun!" umpatku
pelan.
Saat langkahku sampai di pintu
depan, tergopoh-gopoh Mbok Irah berusaha menjajari langkahku. "Den
Tomo, ini susunya diminum dulu. Aden kan belum sarapan ...," ujarnya pelan
sambil berusaha menahan sebelah tanganku.
"Duh, awas Mbok. Sudah
telat ni! Sudah sana!" sambil tetap melanjutkan langkah, kudorong lengan
kurus Mbok Irah supaya menjauh. Wanita tua ini tampak terhuyung-huyung berusaha
mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Prang!!!
Sekilas ekor mataku
memperhatikan Mbok Irah yang tertunduk di depan pintu. Jemarinya perlahan
memunguti pecahan gelas di antara genangan tumpahan susu yang berserakan di
lantai. Sempat mataku bersirobok pandang dengannya. Kulihat di sana, di
kedalaman mata tua itu, terlihat tatapan penuh kasih berselimut duka dan luka.
Entah mengapa, tiba-tiba hatiku bergetar.
"Ah, masa bodohlah!"
kucoba menepis desiran aneh di dadaku yang tiba-tiba datang. Jarum jam di
pergelangan tanganku segera membuatku tersadar. Segera kunyalakan mesin motorku
dan langsung kupacu kencang ke luar halaman. Namun saat baru saja kuarahkan motorku
ke luar pagar, tanpa kuduga tiba-tiba sekelebat bayangan hitam disertai bunyi
berdecit yang memekakkan langsung menghempaskanku tinggi ke udara. Tak lama
tubuhku langsung jatuh berguling, rebah ke permukaan aspal hitam yang mulai
memanas terpanggang matahari.
Braaaakkkk!!!
"Ya Allah, Den
Tomooooo!!!"
Lamat-lamat kudengar suara
jeritan Mbok Irah, yang makin lama terdengar makin dekat di telingaku.
Pandanganku mulai buram tertutupi cairan hangat yang mengalir deras di wajahku.
Namun aku masih bisa mengenali tubuh ringkih pembantuku ini, yang langsung
mendekapku erat disertai tangisan yang menyayat.
"Tomo anakku ... Bangun
Tomooo ...."
Di tengah kesadaranku yang
sedikit demi sedikit mulai hilang, hatiku terasa dilingkupi kedamaian. Dekapan
penuh kasih ini mampu meredakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Meski bibirku
mulai terasa kelu, seulas senyum tipis masih sempat kusunggingkan untuknya,
sebelum akhirnya ku terlelap dalam pelukannya yang erat ....
***
Di dalam kamar tidurnya yang
sempit, Irah duduk tercenung, diam dalam kebisuan. Wanita tua itu tampak rapuh,
tergugu dalam gurat-gurat kepedihan yang tergambar jelas di wajah keriputnya. Matanya
tak henti menitikkan air mata duka. Terlihat lara yang mendalam di balik raut
wajahnya yang kelam.
Dipandanginya lembaran lusuh
dengan tulisan yang tampak mulai memudar di tangannya. Dibacanya berulang-ulang
baris-baris kalimat yang tersurat di sana.
Irah, kumohon, jangan
pernah kau buka jati diri Tomo yang sebenarmya. Sampai kapan pun. Demi
kebahagiaan anakmu, biarlah sejak awal ini hingga nanti dia tetap menjadi putra
kebanggaan dari keluarga Ratno Kumolo.
Tapi, tetaplah di sini
Irah. Temani ndoro kecilmu, putramu ini hingga dewasa nanti. Supaya kau tak
pernah merasa kehilangan ....
Pandangan mata Irah yang
tertuju pada baris-baris tulisan di kertas lusuh itu makin tampak kabur. Goresan
pesan masa lalu yang tersurat di dalamnya tak lagi terlihat, tertutupi oleh
derasnya air mata kepedihan yang mengalir tak terbendung dari kedua bola mata
tuanya yang sendu. Sedangkan dari ruang tengah, terus terdengar suara
puji-pujian pada Sang Pencipta yang dilantunkan bersama oleh puluhan warga
sekitar. Doa-doa suci dipanjatkan untuk menandai 7 hari kepergian Bagus Sutomo,
putra tunggal dari Raden Mas Ratno Kumolo yang tewas dalam musibah kecelakaan
sepeda motor yang menimpanya beberapa waktu lalu.
Komentar
Posting Komentar